Kematian Janin dalam Rahim

Oleh: Gita Kostania

Kematian janin dalam kandungan/ intra uterin fetal death (IUFD) adalah suatu kondisi dimana janin meninggal di dalam rahim setelah UK 22-24 minggu. Penyebab terjadinya IUFD diantaranya: perdarahan karena placenta previa atau solusio placenta, preeklamsi dan eklamsi, penyakit kelainan darah, penyakit infeksi dan penyakit menular, infeksi saluran kencing, gangguan endokrin (DM, hipertiroid), malnutrisi, dsb.

Tanda dan gejala terjadinya IUFD (penentuan diagnosis):

  1. Ibu akan merasakan bahwa gerakan janin terhenti.
  2. Ibu merasakan kehamilan tidak seperti biasanya, dan merasakan perutnya sering menjadi keras dan merasakan seperti mau melahirkan.
  3. Pertumbuhan janin terhenti, ukuran uterus berkurang dari minggu-minggu sebelumnya (TFU lebih rendah dari UK seharusnya).
  4. Pada pemeriksaan, tidak terdengar DJJ.
  5. Peningkatan BB ibu terhenti, atau bahkan berkurang.
  6. Perubahan pada payudara, kembali seperti senelum hamil.
  7. Pada palpasi, kepala janin terasa jatuh.
  8. Temuan pada pemeriksaan USG: tidak ada gerakan janin, tidak ada gambaran DJJ, tengkorak saling tumpang tindih (pada kematian yang terjadi beberapa hari, terjadi akibat perubahan otak menjadi cairan).

Janin yang meninggal dalam rahim biasanya lahir dengan kondisi maserasi, yaitu suatu perubahan degenerasi yang menyebabkan perubahan warna, pelunakan jaringan, disintegrasi janin yang masih dalam rahim setelah mati. Ciri-cirinya adalah: kulitnya mengelupas dan terdapat bintik-bintik merah kecoklatan oleh karena absorbsi pigmen darah, seluruh tubuhnya lemah atau lunak dan tidak bertekstur, tulang kranialnya sudah longgar dan dapat digerakkan dengan sangat mudah satu dengan yang lainnya, cairan amnion dan cairan yang ada dalam rongga mengandung pigmen darah. Maserasi dapat terjadi cepat dan meningkat dalam waktu 24 jam dari kematian janin. Perubahan maserasi janin diklasifikasikan sebagai berikut:

  1. Rigor mostis (tegang mati) –> berlangsung 2,5 jam setelah mati, kemudian lemas kembali.
  2. Stadium maserasi I –> Timbul lepuh-lepuh pada kulit, mula-mula terisi cairan jernih tapi kemudian menjadi merah. Stadium ini berlangsung 48 jam setelah mati.
  3. Stadium maserasi II –> lepuh-lepuh pecah dan mewarnai air ketuban menjadi merah coklat, stadium ini berlangsung 48 jam setelah anak mati.
  4. Stadium maserasi III –> terjadi kira-kira 3 minggu setelah anak mati. Badan janin sangat lemas, hubungan antara tulang-tulang sangat longgar dan terdapat oedem di bawah kulit.

Maserasi

 

Gambar 1. Gambaran terjadinya Maserasi Janin

Mumifikasi maserasi

Gambar 2: Gambaran terjadinya Maserasi disertai Mummifikasi

Apabila sudah dipastikan terjadi IUFD, terdapat tanda-tanda persalinan, maka lakukan pertolongan normal. Namun apabila belum ada tanda-tanda persalinan, dapat diobservasi selama 2-3 minggu sambil menunggu persalinan spontan. Apabila selama 3 minggu kematian janin atau setelah 1 minggu setelah didiagnosis mengalami IUFD belum ada tanda-tanda persalinan, maka induksi persalinan dapat dilakukan. Terjadinya IUFD dibawah 4 minggu umumnya tidak terlalu membahayakan ibu, namun apabila lebih dari itu, maka ibu beresiko mengalami gangguan pembekuan darah. Dukungan emosi sangat diperlukan ibu pada periode ini.

Referensi:

  1. Bobak, Lowdermilk, Jensen (Alih bahasa: Wijayarini, Anugerah). 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas, edisi 4. EGC, Jakarta.
  2. Cunningham, et.al. 2010. E-book Williams Obstetrics, edisi 23. The Mc Graw-Hill Companies, USA.
  3. Fraser, Cooper (Alih bahasa: Rahayu, et.al.). 2009. Myles, Buku Ajar Bidan, edisi 14. EGC, Jakarta.
  4. Mochtar. 2002. Synopsis Obstetri, edisi 2. EGC, Jakarta.
  5. Varney, Kriebs, Gegor. 2002. Buku Ajar Asuhan Kebidanan, Edisi 4, Volume 1. EGC, Jakarta.

Blighted Ovum

Oleh: Gita Kostania

Blighted ovum merupakan suatu kehamilan tanpa embrio (hanya kantong kehamilan). Pada saat terjadinya konsepsi, sel-sel tetap membentuk kantung ketuban dan plasenta, namun sel telur yang telah dibuahi tidak berkembang menjadi embrio. Pada kondisi ini (blighted ovum), kantung kehamilan akan terus berkembang layaknya kehamilan biasa, namun sel telur yang telah dibuahi gagal untuk berkembang secara sempurna.

BO

 

Gambar 1. Hasil USG Blighted Ovum

Blighted ovum terjadi pada saat awal-awal kehamilan. Penyebab dari blighted ovum sampai saat ini belum diketahui secara pasti, namun di duga karena adanya kelainan kromosom, kelainan genetik, atau sel telur dengan kondisi kurang baik di buahi oleh sperma normal atau sebaliknya.

Pada ibu hamil yang mengalami blighted ovum, akan merasakan bahwa kehamilan yang dijalaninya biasa-biasa saja, seperti tidak terjadi sesuatu (karena kantung kehamilan berkembang seperti biasa). Pada saat awal kehamilan, produksi hormon HCG tetap meningkat, sehingga hasil PP tes (Pregnostikon Plano tes) hasilnya positif, juga mengalami gejala seperti kehamilan normal lainnya: mual muntah, pusing-pusing, sembelit dan tanda-tanda awal kehamilan lainnya. Gejala blighted ovum dapat terdeteksi melalui pemeriksaan USG atau hingga adanya perdarahan layaknya mengalami gejala keguguran mengancam (abortus iminens) karena tubuh berusaha mengeluarkan konsepsi yang tidak normal. Untuk itu, apabila dijumpai pasien pada kehamilan trimester pertama (usia kehamilan 6-8 minggu) dengan keluhan terjadi perdarahan dari jalan lahir, segera lakukan rujukan untuk memastikan diagnosis dengan pemeriksaan ultrasonografi. Hasil pemeriksaan ultrasonografi akan terdeteksi bahwa terdapat kondisi kantung kehamilan berisi embrio yang tidak berkembang.

Referensi:

  1. Bobak, Lowdermilk, Jensen (Alih bahasa: Wijayarini, Anugerah). 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas, edisi 4. EGC, Jakarta.
  2. Cunningham, et.al. 2010. E-book Williams Obstetrics, edisi 23. The Mc Graw-Hill Companies, USA.
  3. Fraser, Cooper (Alih bahasa: Rahayu, et.al.). 2009. Myles, Buku Ajar Bidan, edisi 14. EGC, Jakarta.
  4. Mochtar. 2002. Synopsis Obstetri, edisi 2. EGC, Jakarta.
  5. Varney, Kriebs, Gegor. 2002. Buku Ajar Asuhan Kebidanan, Edisi 4, Volume 1. EGC, Jakarta.

Mola Hidatidosa

Oleh: Gita Kostania

Mola hidatidosa merupakan suatu kehamilan yang tidak normal, yaitu suatu perubahan abnormal dari villi korionik menjadi sejumlah kista yang menyerupai anggur yang dipenuhi dengan cairan. Karakteristik mola hidatiosa dapat berbentuk komplet/klasik dan bentuk inkomplit/parsial, yaitu tidak ada jaringan embrio dan ada jaringan embrio.

Mola

Gambar 1. Mola Hidatidosa

Mola komplit atau klasik ini terjadi akibat fertilisasi sel telur yang intinya telah hilang atau tidak aktif, sehingga mola tidak mengandung hasil konsepsi (janin, plasenta, membrane amniotic atau air ketuban). Mola berbentuk tumor jinak (benigna), menyerupai setangkai buah anggur yang warnanya putih, menghasilkan sejumlah besar human chorionic gonadotropin (hCG), serta masing-masing vesikel yang dipenuhi cairan ini menyerupai mata ikan. Vesikel-vesikel hidropik (berisi cairan) ini merupakan sel-sel trophoblastik (jaringan placenta yang berkembang abnormal), tumbuh dengan cepat sehingga menyebabkan rahim tumbuh menjadi lebih besar dari usia kehamilan yang seharusnya.

Pada kehamilan dengan mola inkomplit atau parsial, terdapat janin yang tidak hidup atau cairan amnion. Pada kasus yang jarang terjadi, dapat ditemukan kehamilan kembar yang terdiri atas satu janin normal dan plasenta, serta satu mola.

Molar pregnancy-Twin

Gambar 2. Kehamilan Ganda dengan Mola Hidatidosa

Oleh karena darah meternal tidak terhubung ke placenta, maka pada kehamilan mola dapat terjadi perdarahan ke dalam rongga rahim dan timbul perdarahan melalui vagina. Pada sekitar 3% kehamilan, mola dapat berkembang menjadi koriokarsinoma (suatu neoplasma ganas yang tumbuh dengan cepat).

DSC_1850

Gambar 3. Gambaran Mola yang Mangalami Ekspulsi perVaginam

Penyebab mola hidatidosa tidak diketahui secara pasti, namun faktor predisposisi diantaranya: faktor ovum (ovum memang sudah patologik sehingga mati, tetapi terlambat dikeluarkan), stimulasi ovum menggunakan Clomifen (Clomid), imunoselektif dari tropoblast, keadaan sosio-ekonomi yang rendah, paritas tinggi, kekurangan protein, infeksi virus dan faktor kromosom yang belum jelas.

Gejala kehamilan dini didapatkan pada mola hidatidosa. Kecurigaaan biasanya terjadi pada minggu ke 14 – 16 dimana ukuran rahim lebih besar dari kehamilan biasa, pembesaran rahim yang terkadang diikuti perdarahan, dan bercak berwarna merah darah beserta keluarnya materi seperti anggur pada pakaian dalam.

Di bawah ini merupakan tanda dan gejala serta komplikasi mola hidatidosa, dapat juga dijadikan acuan dalam mengumpulkan data dasar:

  1. Mual dan muntah yang menetap, seringkali menjadi parah.
  2. Pembesaran rahim yang tidak sesuai dengan usia kehamilan (lebih besar), pada palpasi tidak terdapat bgian-bagian janin, tidak terdengar denyut jantung janin, tidak ada aktivitas janin.
  3. Terjadi perdarahan uterus, yang dapat dimulai pada minggu ke-12. Bercak darah atau mungkin perdarahan hebat dapat terjadi. Namun biasanya hanya terjadi pengeluaran lender bercampur darah, cnderung berwarna merah daripada coklat yang terjadi secara intermitten atau terus menerus.
  4. Sesak nafas.
  5. Nyeri tekan pada ovarium, dan terdapat pembesaran ovarium (theca lutein cyst).
  6. Gejala-gejala hipertitoidisme: seperti intoleransi panas, gugup, penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan, tangan gemetar dan berkeringat, kulit lembab.
  7. Gejala-gejala pre-eklampsi atau eklamsi sebelum usia kehamilan 24 minggu, seperti pembengkakan pada kaki dan tungkai, peningkatan tekanan darah, dan proteinuria (terdapat protein pada air seni).

Data lain yang dapat dikaji adalah melalui hasil pemeriksaan ultrasonografi (pola khas gambaran badai salju). Evaluasi klinik yang dapat dilakukan bidan focus pada: riwayat haid terakhir dan kehamilan, riwayat perdarahan tidak teratur atau spotting, dan pelunakan serviks dan korpus uteri, serta tes/uji kehamilan dengan menggunakan urin.

Referensi:

  1. Bobak, Lowdermilk, Jensen (Alih bahasa: Wijayarini, Anugerah). 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas, edisi 4. EGC, Jakarta.
  2. Cunningham, et.al. 2010. E-book Williams Obstetrics, edisi 23. The Mc Graw-Hill Companies, USA.
  3. Fraser, Cooper (Alih bahasa: Rahayu, et.al.). 2009. Myles, Buku Ajar Bidan, edisi 14. EGC, Jakarta.
  4. Mochtar. 2002. Synopsis Obstetri, edisi 2. EGC, Jakarta.
  5. Varney, Kriebs, Gegor. 2002. Buku Ajar Asuhan Kebidanan, Edisi 4, Volume 1. EGC, Jakarta.

Kehamilan Ektopik

Oleh: Gita Kostania

Kehamilan ektopik adalah suatu kehamilan yang berimplantasi di luar cavum uteri. Kehamilan ekstrauteri ini terjadi karena abnormalitas yang menghambat atau mencegah perjalanan ovum yang telah dibuahi spermatozoon (blastosit) melalui tuba falopii untuk tertanam di endometrium cavum uteri. Kehamilan ektopik ini diklasifikasikan menurut tempat implantasinya. Tempat yang mungkin untuk terjadinya kehamilan ektopik adalah pada: tuba falopii (ampula, istmus, interstisial, fimbria, ligamen tuba-ovarium), ovarium, cerviks dan abdomen.

KET

Gambar 1. Tempat terjadinya Kehamilan Ektopik

Faktor predisposisi terjadinya kehamilan ektopik adalah: infeksi pelvis, alat kontrasepsi dalam Rahim (AKDR), riwayat kehamilan ektopik sebelumnya, curettage berulang, dan riwayat pembedahan tuba.

Tanda dan gejala terjadinya kehamilan ektopik pada kehamilan ektopik dini diantaranya: terlambat haid, adneksa terasa penuh, dan nyeri tekan pada abdomen. Pada kehamilan ektopik dini yang terganggu atau yang sudah mengalami rupture (50% kasus), gejalanya: amenore atau waktu menstruasi yang abnormal diikuti dengan perdarahan Rahim yang ringan, terdapat massa di adneksa atau cavum Douglasi, dan nyeri pada pelvis unilateral dimana terdapat massa. Hasil curretase, bisa ditemukan desidua tanpa villus.

Apabila terjadi rupture yang akut, maka ditandai dengan: nyeri hebat yang menusuk-nusuk pada abdomen bawah disertai penurunan tekanan darah dan tanda-tanda lain terjadinya syok dengan jumlah perdarahan yang tidak sesuai dengan jumlah perdarahan yang keluar dari vagina, atau nyeri alihan pada leher dan bahu, serta saat pemeriksaan dijumpai adanya nyeri tekan pada abdomen dan nyeri pada saat dilakukan pemeriksaan dalam.

Pada kehamilan ektopik terganggu yang kronis, dimana terjadi rupture pada tuba yang sudah kronis, maka perdarahan internal biasanya lambat dan gejala biasanya atipikal atau tidak konklusif. Selain perdarahan pervaginam yang ringan dengan darah berwarna gelap, gejala lainnya: panggul terasa penuh atau tertekan, nyeri tekan di abdomen bagian bawah, flatulen, teraba tegang dan mengalami nyeri tekan dan semi kistik, serta meraba massa di cavum Douglasi, gejala demam ringan, lekositosis, dan hematocrit atau kadar hemoglobin rendah dapat ditemukan.

Timbulnya rasa nyeri saat pemeriksaan dalam dilakukan diakibatkan oleh penuhnya ruang cul-de-sac oleh darah sehingga forniks posterior vagina menonjol. Sedangkan nyeri pada leher dan bahu dapat timbul akibat iritasi diafragma yang berasal dari darah di dalam rongga peritoneum, terutama saat ibu menarik nafas.

KET-ruptur

Gambar 2. Kehamilan Ektopik Terganggu (terjadi ruptur)

KET-abdomen

Gambar 3. Kehamilan Ektopik di Abdomen

Pengumpulan data yang dapat dilakukan untuk dapat memperkirakan kasus ini, meliputi:

  1. Pada pemeriksaan panggul: akan menimbulkan nyeri yang cukup hebat, khususnya setip kali terjadi gerakan cerviks, dapat juga tidak terjadi nyeri sama sekali.
  2. Pada palpasi: teraba massa lunak dan lentur di sisi posterior atau leteral terhadap uterus.
  3. Hasil inspeksi pada jalan lahir (vagina atau cerviks): lapisan desidua uterus keluar seluruhnya.
  4. Pada anamnesis: tanyakan apakah ibu merasakan nyeri pada daerah leher dan bahu.
  5. Anamnesis: tanyakan juga tentang nyeri abdomen akut di bagian abdomen atas atau bawah, nyeri dapat dirasakan unilateral, bilateral atau menyeluruh.
  6. Tanyakan tentang terjadinya diare dan tekanan pada rectum.
  7. Pada pemeriksaan kehamilan menggunakan air kencing hasil negative, karena kadar gonadotropin chorionic sangat rendah.
  8. Hasil pemeriksaan laboratorium: jumlah leukosit bisa berada pada batas normal atau mencapai 30.000, karena terjadi proses peradangan.

Referensi:

  1. Bobak, Lowdermilk, Jensen (Alih bahasa: Wijayarini, Anugerah). 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas, edisi 4. EGC, Jakarta.
  2. Cunningham, et.al. 2010. E-book Williams Obstetrics, edisi 23. The Mc Graw-Hill Companies, USA.
  3. Fraser, Cooper (Alih bahasa: Rahayu, et.al.). 2009. Myles, Buku Ajar Bidan, edisi 14. EGC, Jakarta.
  4. Mochtar. 2002. Synopsis Obstetri, edisi 2. EGC, Jakarta.
  5. Varney, Kriebs, Gegor. 2002. Buku Ajar Asuhan Kebidanan, Edisi 4, Volume 1. EGC, Jakarta.

Inkompetensi Cerviks

Inkompetensi serviks merupakan suatu kondisi dimana serviks tidak dapat mempertahankan ketahanan uterus sampai janin viabel. Inkompetensi cerviks ditandai dengan dilatasi serviks tanpa rasa nyeri, tanpa disertai tanda-tanda persalinan atau kontraksi rahim pada trimester kedua atau awal trimester ketiga, dapat terjadi abortus spontan atau persalinan preterm.

Umumnya ibu datang ke petugas kesehatan dengan keluhan perdarahan pervaginam, merasakan adanya tekanan pada panggul, dan ketuban pecah sebelum waktunya. Bagi ibu dangan inkompetensi serviks, rangkaian peristiwa ini akan berulang pada kehamilan berikutnya berapapun jarak antar kehamilan. Tanyakan pada ibu riwayat kehamilan, mengenai adanya abortus berulang, yaitu minimal dua kali abortus pada pertengahan trimester kedua tanpa disertai tanda-tanda persalinan, ataupun riwayat persalinan preterm yang terjadi pada awal trimester ke-tiga.

Faktor resiko dan penyebab terjadinya inkompetensi cerviks adalah:

  1. Riwayat keguguran pada usia kehamilan 14 minggu atau lebih
  2. Riwayat laserasi cerviks menyusul persalinan pervaginam atau melalui operasi caesar
  3. Pembukaan cerviks berlebihan disertai kala dua yang memanjang pada kehamilan sebelumnya
  4. Ibu berulangkali mengalami abortus elektif pada trimester pertama atau kedua (kuretase berulang)
  5. Sebelumnya ibu mengalami eksisi sejumlah besar jaringan cerviks (conization pada penderita kanker cerviks)
  6. Cerviks pendek atau anomali rahim
  7. Ibu hamil yang mengkonsumsi Dietilstilbesterol (DES), suatu estrogen sintetis.

Apabila seorang wanita memiliki faktor resiko dan gejala seperti di atas, maka bidan mutlak berkonsultasi dan melakukan rujukan. Penatalaksanaan yang dilakukan dokter adalah dengan terapi aktif dan konservatif.

Terapi konservatif dilakukan apabila hasil pemeriksaan, kehamilan masih dapat dipertahankan. Tindakan  yang dilakukan adalah istirahat baring, hidrasi, pemberian tokolisis (inhibisi kontraksi rahim), dilakukan juga pemeriksaan vagina menggunakan ultrasonografi setiap minggu atau setiap dua minggu sekali untuk mengukur panjang cerviks. Apabila hasil pengukuran cerviks tiap minggu mengalami pemendekan, maka dilakukan penanganan aktif.

Terapi aktif diberikan pada ibu dimana ketika datang ke petugas kesehatan sudah terjadi penipisan dan pembukaan cerviks, tekanan pada panggul, atau perdarahan pervaginam yang tidak diketahui penyebabnya. Apabila ketuban masih utuh, janin masih hidup, cerviks masih dapat diperbaiki, maka akan dilakukan cerclage (suatu teknik jahitan pada cerviks yang tidak kompeten dengan benang yang tidak dapat diserap). Tipe cerclage yang akan digunakan disesuaikan dengan situasi klinis, panjang cerviks, pembukaan cerviks, dan pengalaman dokter yang menangani. Teknik kedua adalah dengan melakukan pemasangan suatu ikatan untuk mempertahankan cerviks tetap menutup, disebut prosedur shirodkar. Hal ini dapat memungkinkan benang ikatan dibiarkan di tempat secara permanen untuk ibu yang mengharapkan hamil lagi di kemudian hari, dengan proses persalinan melalui operasi sesarea.

Cerclage

Gambar 1. Gambaran Cerclage

 

Shirodkar

 

Gambar 2. Gambaran Pemasangan Shirodkar

Pengkajian data yang dilakukan untuk dapat memperkirakan terjadinya inkompetensi cerviks, meliputi:

  1. Tanda dan gejala yang muncul sebelum, selama dan setelah keguguran (missal: perdarahan, kram/kontraksi, nyeri suprapubis, nyeri punggung bagian bawah, tekanan pada vagina atau abdomen bawah, rabas vagina tanpa tanda dan gejala infeksi vagina, ketuban pecah), dan kapan kapan tanda dan gejala tersebut muncul kaitannya dengan persalinan.
  2. Usia kehamiln pada saat masing-masing keguguran terjadi.
  3. Kelainan kongenital pada janin yang dihasilkan pada aborsi sebelumnya.
  4. Riwayat kematian janin pada awal kehamilan dalam keluarga.
  5. Riwayat trauma pada cerviks pada persalinan sebelumnya.
  6. Riwayat trauma lain pada cerviks atau pembedhan pada cerviks.

Referensi:

  1. Bobak, Lowdermilk, Jensen (Alih bahasa: Wijayarini, Anugerah). 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas, edisi 4. EGC, Jakarta.
  2. Cunningham, et.al. 2010. E-book Williams Obstetrics, edisi 23. The Mc Graw-Hill Companies, USA.
  3. Fraser, Cooper (Alih bahasa: Rahayu, et.al.). 2009. Myles, Buku Ajar Bidan, edisi 14. EGC, Jakarta.
  4. Mochtar. 2002. Synopsis Obstetri, edisi 2. EGC, Jakarta.
  5. Varney, Kriebs, Gegor. 2002. Buku Ajar Asuhan Kebidanan, Edisi 4, Volume 1. EGC, Jakarta.