Perubahan Paradigma dalam Pelayanan Kebidanan

Oleh: Gita Kostania

Artikel ini dipublikasikan pada Buku adaptasi_kebiasaan_baru_dalam_kebidanan_di_era_pandemi_covid-19

Untuk mensitasi: Kostania, G. (2021). Perubahan Paradigma Dalam Pelayanan Kebidanan. Adaptasi Kebiasan Baru Dalam Kebidanan di Era Pandemi Covid-191, 1.

URL artikel: http://repository.stikesrspadgs.ac.id/465/1/adaptasi_kebiasaan_baru_dalam_kebidanan_di_era_pandemi_covid-19_edisi_2.pdf#page=13

_____________________________________________________________________

Pelayanan kebidanan dari waktu ke waktu telah mengalami perubahan. Perubahan ini didasari atas berubahnya sistem yang ada, melalui kebijakan pemerintah dan organisasi profesi. Perubahan ini diawali oleh adanya perubahan dalam landasan berfikir ilmiah atau cara pandang dari para pelaku pelayanan kesehatan. Istilah ini sering disebut dengan perubahan paradigma. Perubahan paradigma merupakan suatu hal yang tidak akan pernah lepas dari suatu perkembangan cabang ilmu pengetahuan, termasuk kebidanan.

Paradigma adalah cara pandang orang terhadap diri dan lingkungannya yang akan mempengaruhinya dalam berpikir, bersikap dan bertingkah laku (Vardiansyah, 2008). Definisi lain menjelaskan bahwa paradigma adalah landasan berpikir ataupun konsep dasar yang digunakan atau dianut sebagai model ataupun pola yang dimaksud para ilmuan dalam usahanya, dengan mengandalkan studi-studi keilmuan yang dilakukannya (Kuhn, 2012). Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa paradigma merupakan keyakinan yang mendasari seseorang dalam melakukan tindakan.

Pelayanan kebidanan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari sistem pelayanan kesehatan yang diberikan oleh bidan secara mandiri, kolaborasi, dan/atau rujukan. Sedangkan praktik kebidanan adalah kegiatan pemberian pelayanan yang dilakukan oleh bidan dalam bentuk asuhan kebidanan (UU No.4, 2019).

Paradigma dalam pelayanan kebidanan merupakan cara pandang bidan yang dapat mempengaruhi tindakannya dalam memberikan pelayanan kebidanan melalui asuhan kebidanan. Asuhan kebidanan yang dilakukan mengacu kepada manajemen asuhan kebidanan, dimana dalam setiap langkah pengambilan keputusan selalu dilandasi olah adanya paradigma, yaitu landasan dalam berfikir secara ilmiah. Dengan kata lain, paradigma kebidanan merupakan dasar ilmiah seorang bidan dalam memberikan asuhan kebidanan.

Dalam memahami paradigma kebidanan, ada lima hal yang menjadi landasan berfikir bidan, yaitu manusia (dalam hal ini perempuan sebagai subjek asuhan), lingkungan, perilaku, pelayanan kebidanan dan keturunan. Bidan meyakini bahwa manusia adalah makhluk Tuhan yang terdiri atas unsur biologis, psikologis, sosial, kultural dan spiritual yang utuh dan unik, yang mempunyai siklus tumbuh dan berkembang, dapat beradaptasi dengan lingkungan, serta cenderung mempertahankan keseimbangan homeostasis. Lingkungan merupakan semua yang terlibat dalam interaksi individu pada waktu melaksanakan aktifitasnya, baik lingkungan fisik, psikososial, biologis maupun budaya. Perilaku merupakan hasil seluruh pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya, yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Pelayanan kebidanan yang dimaksud terdiri atas layanan primer, kolaborasi dan rujukan. Sedangkan keturunan (genetis) merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas manusia (Tajmiati A.,dkk., 2016). Ke-lima hal ini hendaknya selalu menjadi tolak ukur bidan dalam memaknai proses berfikir ilmiah.

Paradigma bidan dalam pelayanan kebidanan akan selalu berubah, karena individu yang selalu berubah, lingkungan yang selalu beradaptasi, sistem layanan kesehatan yang juga berubah, serta ilmu pengetahuan dan teknologi informasi yang terus berkembang. Adanya perubahan paradigma pada diri seorang bidan, dapat merubah perilaku bidan dalam memberikan pelayanan kebidanan. Perubahan paradigma dari satu individu yang didukung oleh sistem dapat menjadi perubahan besar yang bersifat revolusioner. Hal inilah yang dapat menggeser paradigma kebidanan, yaitu cara pandang dalam pelayanan kebidanan yang dapat menjadi dasar ilmiah perubahan standar asuhan dan pelayanan dalam kebidanan. Peran setiap bidan yang revolusioner sangat penting, karena perubahan besar berawal dari perubahan kecil dari setiap individu, pada hal yang kecil dan dilakukan saat itu juga secara berkelanjutan. Setiap bidan adalah “agent of change”, agen perubahan dalam setiap perubahan besar yang akan nampak sebagai sebuah pergeseran paradigma dalam pelayanan kebidanan.

Adanya pergeseran paradigma dalam pelayanan kebidanan sudah selayaknya terjadi. Ini merupakan suatu realita, bahwa ilmu pengetahuan yang menjadi dasar pelayanan kebidanan berubah setiap waktu. Pergeseran paradigma dapat menciptakan pengembangan dalam paradigma ilmu pengetahuan, dalam hal ini ilmu kebidanan. Setiap bidan harus terbuka (open minded) terhadap adanya suatu perubahan. Pergeseran paradigma dalam pelayanan kebidanan yang dilandasi dengan evidence based practice dapat membawa perubahan pelayanan kebidanan yang lebih baik.

Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan organisasi profesi bidan selalu mengupayakan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat. Upaya tersebut diantaranya adalah dengan menyusun pedoman-pedoman pelayanan yang merujuk pada panduan World Health Organisation yang berdasarkan evidence based practice. Namun, pedoman-pedoman yang diterbitkan pemerintah kadangkala diterbitkan setelah bertahun-tahun hasil penelitian yang menjadi dasar evidence based practice tersebut diterbitkan. Pelayanan kebidanan yang berdasarkan evidence based practice terkini, terkendala oleh adanya sistem.

Disamping terkendala sistem, penerapan evidence based practice terkini dalam pelayanan kebidanan seringkali terkendala oleh penerimaan yang kurang baik dari para bidan, akan adanya perubahan paradigma kebidanan. Beberapa diantaranya disebabkan oleh: kurangnya update ilmu-ilmu terbaru yang berkaitan dengan pelayanan kebidanan, masih kurangnya penelitian-penelitian bermutu yang dilakukan oleh akademisi dan praktisi yang kompeten di Indonesia, adanya regulasi yang lambat, dan masih adanya beberapa bidan yang terlalu kaku dalam menerima konsep ilmu baru.

Contoh nyata dari pemaparan di atas adalah berkaitan dengan asuhan persalinan. Dalam dokumen yang diterbitkan WHO tahun 2018 tentang rekomendasi WHO berkaitan dengan asuhan intrapartum, salah satunya menyatakan bahwa kala satu fase aktif dimulai dari pembukaan 5 cm dengan durasi tidak lebih dari 12 jam pada persalinan pertama, dan 10 jam pada persalinan berikutnya (WHO, 2018). Bidan-bidan yang sudah mengetahui rekomendasi ini, terkendala sistem dalam mengimplementasikannya. Kemenkes belum mengeluarkan pedoman resmi. Perlu regulasi yang tidak sebentar dan kajian lebih lanjut untuk diimplementasikan dalam praktik kebidanan di Indonesia. Pada bidan-bidan yang belum membaca dokumen tersebut, juga tidak begitu saja mempercayai adanya rekomendasi tersebut, karena pengetahuan mendasar yang diterima sejak belajar ilmu kebidanan meyakini bahwa kala satu fase aktif dimulai dari pembukaan 4 cm.

Untuk pelayanan kebidanan di Indonesia yang lebih baik, seyogyanya para bidan selalu open minded terhadap adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terbaru, sehingga dapat dengan mudah menerima apabila dijumpai adanya pergeseran paradigma. Bidan juga selalu update ilmu-ilmu terkini yang berkaitan dengan ilmu kebidanan, dan mencoba untuk menerapkannya berdasarkan kaidah evidence based practice, yaitu: 1)semua keputusan praktis harus dibuat berdasarkan studi penelitian, dipilih danditafsirkan menurut beberapa karakteristik norma tertentu; 2)diperlukan keahlian klinis dari tenaga kesehatan; 3)dalam bingkai sistem pelayanan kesehatan yang berlaku; dan 4)dilaksanakan berdasarkan pilihan klien/ pasien. (Kostania, 2020). Penerapan evidence based practice hendaknya diikuti dengan meningkatnya budaya meneliti dan publikasi oleh para bidan. Peran advokasi juga sangat penting, mengingat salah satu kaidah penerapan evidence based practice adalah dukungan dari sistem.

Menghadapi era normal baru, paradigma bidan juga harus berubah. Pada era ini, semua dituntut untuk dapat memanfaatkan teknologi digital dengan bijak. Perubahan paradigma bidan pada era normal baru yang berkaitan dengan pelayanan kebidanan diantaranya adalah berkurangnya sesi tatap muka antara klien dan bidan yang seharusnya menjadi bagian terpenting dalam pelayanan kebidanan, konseling. Untuk menyikapinya, sesi ini diganti dengan sesi daring. Bidan yang dapat menerima dengan mudah perubahan paradigma ini, akan dengan mudah untuk menyesuaikannya. Berbeda dengan bidan yang belum bisa menerima adanya perubahan paradigma ini, akan sulit menyesuaikan diri.

Dari bahasan ini, dapat diambil benang merahnya bahwa untuk dapat berperan serta dalam optimalisasi pelayanan kesehatan di Indonesia khususnya kebidanan, juga agar dapat berkompetisi dengan baik di era baru ini, perubahan paradigma mutlak terjadi. Dengan adanya perubahan paradigma, maka inovasi-inovasi dalam pelayanan kebidanan dapat tercipta dengan paripurna.