Analisis Situasi Sistem Informasi Kesehatan

Analisis situasi sistem informasi kesehatan dilakukan dalam rangka pengembangan sistem informasi kesehatan. Sistem informasi kesehatan bukanlah suatu sistem yang berdiri sendiri, melainkan merupakan bagian fungsional dari sistem kesehatan yang dibangun dari himpunan atau jaringan sistem-sistem informasi dari level yang paling bawah. Misal: sistem informasi kesehatan nasional dibangun dari himpunan atau jaringan sistem informasi kesehatan provinsi. Sistem informasi kesehatan dikembangkan dalam rangka mendukung pencapaian visi dan misi pembangunan kesehatan Indonesia, yaitu Indonesia sehat 2025. Visi dan misi ini tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kesehatan (RPJP-K) yang disusun pada tahun 2005 untuk kurun waktu 20 tahun, dan diuraikan menjadi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kesehatan (RPJM-K) yang dievaluasi setiap 5 tahun. RPJM-K yang berlaku sekarang adalah RPJM-K ke-dua yang berlaku dari tahun 2010 sampai dengan 2014, dengan visi: Masyarakat Sehat yang Mandiri dan Berkeadilan. Visi ini akan tercapai dengan baik apabila didukung oleh tersedinya data dan informasi akurat dan disajikan secara cepat dan tepat waktu. Sehingga dapat dikatakan bahwa pencapaian visi ini memerlukan dukungan sistem informasi kesehatan yang dapat diandalkan.

Untuk dapat mencapai hal tersebut, maka diperlukan suatu analisis dari sistem informasi kesehatan yang tepat guna, agar sistem informasi kesehatan yang dikembangkan benar-benar dapat mendukung terwujudnya visi “Masyarakat Sehat yang Mandiri dan Berkeadilan”. Analisis situasi yang dilakukan salah satunya dapat menggunakan analisis SWOT. Analisis SWOT yaitu analisis antarkomponen dengan memanfaatkan deskripsi SWOT setiap komponen untuk merumuskan strategi pemecahan masalah, serta pengembangan dan atau perbaikan mutu sistem informasi kesehatan secara berkelanjutan.

SWOT merupakan akronim dari Strength (kekuatan/kondisi positif), Weakness (kelemahan internal sistem), Opportunity (kesempatan/ peluang sistem), dan  Threats (ancaman/ rintangan/ tantangan dari lingkungan eksternal sistem). Kekuatan yang dimaksud adalah kompetensi khusus yang terdapat dalam sistem, sehingga sistem tersebut memiliki keunggulan kompetitif di pasaran. Kekuatan dapat berupa: sumber daya, keterampilan, produk, jasa andalan, dan sebagainya yang membuatnya lebih kuat dari pesaing dalam memuaskan kebutuhan dan keinginan pelanggan dan masyarakat di dalam atau di luar sistem. Kelemahan adalah keterbatasan atau kekurangan dalam hal sumber daya, keterampilan dan kemampuan yang menjadi penghalang serius bagi penampilan kerja sistem informasi kesehatan. Adapun peluang adalah berbagai situasi lingkungan yang menguntungkan bagi sistem tersebut, sedangkan ancaman/tantangan merupakan kebalikan dari peluang. Tantangan yang mungkin muncul sehubungan dengan pengembangan sistem informasi kesehatan pada dasarnya berasal dari dua perubahan besar yaitu tantangan dari otonomi daerah dan tantangan dari globalisasi. Dengan demikian ancaman/tantangan adalah faktor-faktor lingkungan yang tidak menguntungkan sistem.

Analisis SWOT dapat merupakan alat yang ampuh dalam melakukan analisis strategis. Keampuhan tersebut terletak pada kemampuan untuk memaksimalkan peranan faktor kekuatan dan memanfaatkan peluang serta berperan untuk meminimalisasi kelemahan sistem dan menekan dampak ancaman yang timbul dan harus dihadapi. Analisis SWOT dapat diterapkan dalam tiga bentuk untuk membuat keputusan strategis, yaitu:

  1. Analisis SWOT memungkinkan penggunaan kerangka berfikir yang logis dan holistik yang menyangkut situasi dimana organisasi berada, identifikasi dan analisis berbagi alternatif yang layak untuk dipertimbangkan dan menentukan pilihan alternatif yang diperkirakan paling ampuh.
  2. Pembandingan secara sistematis antara peluang dan ancaman eksternal di satu pihak, serta kekuatan dan kelemahan internal di pihak lain.
  3. Analisis SWOT tidak hanya terletak pada penempatan organisasi pada kuadran tertentu akan tetapi memungkinkan para penentu strategi organisasi untuk melihat posisi organisasi yang sedang dianalisis tersebut secara menyeluruh dari aspek produk/ jasa/ informasi yang dihasilkan dan pasar yang dilayani.

Dalam melakukan analisis situasi menggunakan analisis SWOT, maka langkah-langkahnya adalah:

  1. Langkah 1: Identifikasi kelemahan dan ancaman yang paling mendesak untuk diatasi secara umum pada semua komponen.
  2. Langkah 2: Identifikasi kekuatan dan peluang yang diperkirakan cocok untuk mengatasi kelemahan dan ancaman yang telah diidentifikasi lebih dahulu pada Langkah 1.
  3. Langkah 3: Masukkan butir-butir hasil identifikasi (Langkah 1 dan Langkah 2) ke dalam Pola Analisis SWOT seperti berikut.

gb1

Gambar 1. Pola Deskripsi dalam Analisis SWOT

 

Pada waktu mengidentifikasikan kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam sistem informasi kesehatan, perlu diingat bahwa kekuatan dan kelemahan merupakan faktor internal yang perlu diidentifikasikan di dalam sistem, sedangkan peluang dan ancaman merupakan faktor eksternal yang harus diidentifikasi dalam lingkungan eksternal sistem. Lingkungan eksternal suatu sistem informasi kesehatan dapat berupa: pemerintah, masyarakat luas, stakeholder internal dan eksternal, dan pesaing. Langkah ini dapat dilakukan secara keseluruhan, atau jika terlalu banyak, dapat dipilah menjadi analisis SWOT untuk komponen masukan, proses, dan keluaran.

Masukan termasuk fisik dan non fisik. Masukan fisik berupa sumber daya manusia, pembiayaan, sarana-prasarana, metode, hardware dan software pendukung, market dan manajemen waktu (7M=man, money, material, methode, machine, market dan minute). Masukan non fisik berupa data kesehatan.

Proses berupa pengelolaan sistem (data) hingga menjadi informasi, termasuk tatapamong, manajemen dan kepemimpinan, dan kerja sama.

Keluaran berupa jenis informasi yang dihasilkan, termasuk model dan media informasi, publikasi, dan pengguna informasi.

4. Langkah 4: Rumuskan strategi atau strategi-strategi yang direkomendasikan untuk menangani kelemahan dan ancaman, termasuk pemecahan masalah, perbaikan, dan pengembangan program secara berkelanjutan. Analisis untuk pengembangan strategi pemecahan masalah dan perbaikan/pengembangan program itu digambarkan pada Gambar 2.

gb2

 

Gambar 2. Analisis SWOT untuk Pengembangan Strategi

   

 

5. Langkah 5: Tentukan prioritas penanganan kelemahan dan ancaman itu, dan susunlah suatu rencana tindakan untuk melaksanakan program penanganan.

Hasil analisis SWOT dimanfaatkan untuk menyusunan strategi pemecahan masalah, serta pengembangan dan atau perbaikan mutu sistem secara berkelanjutan. Jika kekuatan lebih besar dari kelemahan, dan peluang lebih baik dari ancaman, maka strategi pengembangan sebaiknya diarahkan kepada perluasan/pengembangan sistem, sedangkan jika kekuatan lebih kecil dari kelemahan, dan peluang lebih kecil dari ancaman, maka sebaiknya strategi pengembangan lebih ditekankan kepada upaya konsolidasi ke dalam, melakukan penataan sistem dan organisasi secara internal dengan memanfaatkan kekuatan dan peluang yang ada, dan mereduksi kelemahan di dalam dan ancaman dari luar. Analisis itu dapat digambarkan sebagai berikut.

gb3

 Gambar 3. Analisis SWOT dan Prioritas Strategi Pengembangan

Langkah-langkah Analisis SWOT di atas dikenal dengan model David (2004), yaitu matriks Threats-Opportunity-Weakness-Strength (TOWS), merupakan perangkat pencocokan yang penting dan dapat membantu pengelola sistem mengembangkan empat tipe strategi: strategi SO (Strength-Opportunity), strategi WO (Weakness-Opportunity), strategi ST (Strength-Threats) dan strategi WT (Weakness-Threats). Mencocokkan faktor-faktor eksternal dan internal kunci, merupakan bagian yang sangat sulit dalam mengembangkan matriks TOWS dan memerlukan penilaian yang baik dan tidak ada sekumpulan kecocokan yang paling baik.

Strategi SO (Strength-Opportunity), yaitu strategi kekuatan-peluang, menggunakan kekuatan internal sistem untuk memanfaatkan peluang eksternal sistem. Strategi WO (Weakness-Opportunity), yaitu strategi kelemahan-peluang, bertujuan untuk memperbaiki kelemahan dengan memanfaatkan peluang eksternal. Strategi ST (Strength-Threats), yaitu strategi kekuatan-ancaman, menggunakan kekuatan sistem untuk menghindari atau mengurangi dampak ancaman eksternal. Strategi WT (Weakness-Threats), yaitu strategi kelemahan-ancaman, merupakan strategi defensif yang diarahkan untuk mengurangi kelemahan internal dan menghindari ancaman eksternal.

Contoh penerapan deskripsi SWOT pada sistem informasi kesehatan nasional berdasarkan hasil evaluasi yang telah dilakukan (tahun 2012) pada Pusat Data dan Informasi, dan unit-unit lain di Kementerian Kesehatan, serta unit di luar sektor kesehatan maka diketahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman dalam sistem informasi kesehatan, seperti tampak dalam tabel di bawah ini. Hasil deskripsi ini kemudian dianalisis dan selanjutnya dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan rencana jangka menengah pengembangan dan penguatan sistem informasi kesehatan nasional selanjutnya.

 Tabel 1: Deskripsi SWOT

STRENGTH ( KEKUATAN )

WEAKNESSES ( KELEMAHAN )

  • Indonesia telah memiliki beberapa legislasi terkait SIK (UU Kesehatan, SKN, Kebijakan dan strategi pengembangan SIKNAS dan SIKDA).
  • Tenaga pengelola SIK sudah mulai tersedia pada tingkat Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota.
  • Infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi tersedia di semua Provinsi dan hampir seluruh Kabupaten/kota
  • Indikator kesehatan telah tersedia.
  • Telah ada sistem penggumpulan data secara rutin yang bersumber dari fasilitas kesehatan pemerintah dan masyarakat.
  • Telah ada inisiatif pengembangan SIK oleh beberapa fasilitas kesehatan seperti Rumah Sakit, Puskesmas dan Dinas Kesehatan, untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.
  • Diseminasi data dan informasi telah dilakukan, contohnya hampir semua Provinsi dan Kabupaten/kota dan Pusat menerbitkan profil kesehatan.
  • SIK masih terfragmentasi (belum terintegrasi) dan dikelola berbagai pihak sehingga terdapat “pulau-pulau informasi”.
  • Legislasi yang ada belum kuat untuk mendukung integrasi SIK.
  • Tidak terdapatnya penanggung jawab khusus SIK (petugas SIK umumnya masih rangkap jabatan).
  • Tenaga Pengelola SIK umumnya masih kurang diakui perannya, pengembangan karir tidak jelas dan belum ada jabatan fungsionalnya.
  • Terbatasnya anggaran untuk teknologi informasi dan komunikasi khususnya untuk pemeliharaan.
  • Indikator yang digunakan sering kurang menggambarkan “subjek” yang diwakili.
  • Belum terbangunnya mekanisme aliran data kesehatan baik lintas program (Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota) maupun lintas sektor.
  • Masih lemahnya mekanisme monitoring, evaluasi dan audit SIK.
  • Kualitas data masih bermasalah (tidak akurat, lengkap, tepat waktu)
  • Penggunaan data/informasi oleh pengambil keputusan dan masyarakat masih sangat rendah

OPPORTUNITIES ( PELUANG )

THREATHS ( ANCAMAN )

  • Kesadaran akan permasalahan kondisi SIK dan manfaat  eHealth mulai meningkat pada semua pemangku kepentingan terutama pada tingkat manajemen Kementerian Kesehatan.
  • Telah ada peraturan perundang-undangan terkait informasi dan TIK.
  • Terdapatnya kebijakan perampingan struktur dan pengkayaan fungsi, memberikan peluang dalam pengembangan jabatan fungsional pengelolaan SIK.
  • Terdapat jenjang pendidikan informasi kesehatan yang bervariasi dari diploma hingga sarjana di perguruan tinggi.
  • Para donor menitik beratkan program pengembangan SIK.
  • Registrasi vital telah dikembangkan oleh Kementerian Dalam Negeri dan telah mulai dengan proyek percobaan di beberapa Provinsi.
  • Adanya inisiatif penggunaan nomor identitas tunggal penduduk oleh Kementerian Dalam Negeri yang merupakan peluang untuk memudahkan pengelolaan data sehingga menjadi berkualitas.
  • Kebutuhan akan data berbasis bukti meningkat khususnya untuk anggaran (perencanaan) yang berbasis kinerja.
  • Dengan Otonomi daerah, terkadang pengembangan SIK tidak menjadi prioritas.
  • Rotasi tenaga SIK di fasilitas kesehatan Pemerintah tanpa perencanaan dan koordinasi dengan Dinas Kesehatan telah menyebabkan hambatan dalam pengelolaan SIK.
  • Sebagian program kesehatan yang didanai oleh donor mengembangkan sistem informasi sendiri tanpa dikonsultasikan atau dikoordinasikan sebelumnya dengan Pusat Data dan Informasi dan pemangku kepentingannya.
  • Komputerisasi data kesehatan terutama menuju data individu (disaggregate) meningkatkan risiko terhadap keamanan dan kerahasiaan sistem TIK.
  • Kondisi geografis Indonesia yang sangat beragam dimana infrastruktur masih sangat lemah di daerah terpencil sehingga menjadi hambatan modernisasi SIK.

Daftar Pustaka:

Departemen Kesehatan RI. 2005. Pedoman Dasar Penyeliaan Jaminan Mutu Di Puskesmas. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Kesehtan Masyarakat.

Departemen Kesehatan RI. 2007. Petunjuk Pelaksanaan Pengembangan Sistem Informasi Kesehatan Daerah Kabupaten/Kota (Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 932 tahun 2002), Cetakan Kedua. Jakarta.

Departemen Kesehatan RI. 2009. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang Kesehatan 2005 – 2025. Jakarta: Depkes RI. http://www.depkes.go.id.

Kepmenkes RI No. 192/MenKes/SK/VI/2012 tantang Roadmap Rencana Aksi Penguatan Sitem Informasi Kesehatan Indonesia.

Kementerian Kesehatan RI. 2010. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan tahun 2010 – 2014. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI. http://www.depkes.go.id.

Sabarguna, Boy; Safrizal, Heri. 2007. Master Plan Sistem Informasi Kesehatan. Yogyakarta: Konsorsium Rumah Sakit Islam Jateng-DIY.

Siagian S.P. 2004. Manajemen Strategik, Cetakan ke-lima. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Sulaeman E,S. 2011. Manajemen Kesehatan, Teori dan Praktek di Puskesmas. Jogjkarta: Gadjah Mada University Press.

 

 

Mengenal Tunalaras

Oleh: Gita Kostania

Mungkin banyak yang masih awam dengan istilah ‘tunalaras’, termasuk saya. Nah, kenapa saya tertarik untuk memposting bahasan ini ?! Hal ini berawal dari permintaan ibu untuk mencari tahu tentang SLB Negeri Semarang setelah menonton acara Kick Andy di TV tentang pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), dan Saya pun mencari tahu tentang SLB Negeri Semarang via om Google…… ^_^. Setelah saya buka web SLB Negeri Semarang, saya jadi tahu jenis-jenis pendidikan untuk ABK. Ternyata, selain tuna netra, tuna rungu, dan tuna wicara masih ada ‘tuna-tuna’ yang lain….. heheeeee…… bukan ikan tuna tapi ya……. Pendidikan ABK selain ‘tuna-tuna’ tersebut, ada juga tunagrahita (gangguan intelektual), tunadaksa (kelainan/cacat tubuh), tunalaras (yang akan kita bahas), dan tunaganda (kelainan gabungan), serta termasuk autism (ADHD). Mungkin ada di sekitar kita yang ternyata memang mengalami tunalaras, namun tidak mengetahuinya karena kurangnya pengetahuan dan kurangnya kesadaran akan hal ini. So, mari kita bahas.
Pengertian tunalaras menurut om Wiki (wikipedia.org) adalah individu yang mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol sosial. Anak ini bertingkah laku menyimpang dari norma-norma dan adat yang berlaku di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Secara umum penyebabnya dapat diuraikan menjadi:
1. Kondisi keluarga yang tidak harmonis.
2. Kurangnya kasih sayang orang tua karena kehadirannya tidak diharapkan.
3. Kemampuan sosial dan ekonomi rendah.
4. Adanya konflik budaya yaitu adanya perbedaan pandangan hidup antara keadaan sekolah dan kebiasaan keluarga.
5. Berkecerdasan rendah atau kurang dapat mengikuti tuntutan sekolah.
6. Adanya pengaruh negatif dari geng – geng atau kelompok.
7. Adanya gangguan atau kerusakan pada otak/sistem syaraf akibat minuman keras atau obat-obatan.
8. Memiliki gangguan kejiwaan bawaan.
Untuk mengenali apakah anak/seseorang (karena dapat berlanjut dan menetap sampai dewasa), dapat diidentifikasi melalui:
1. Tes psikologi (psikotest) untuk mengetahui kematangan sosial dan gangguan emosi.
2. Tes sosiometri untuk mengetahui suka tidaknya seseorang.
3. Konsultasi ke biro konsultasi psikolog.
4. Konsultasi ke psikiater.
5. Membandingkan dengan tingkah laku anak/orang pada umumnya.
Poin ke-lima di atas adalah langkah awal untuk mengidentifikasinya, dengan melihat ciri-cirinya, yaitu:
1. Adanya gangguan emosi dan gangguan sosial, yang ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a. Tidak mau bergaul dan menyendiri.
b. Melarikan diri dari tanggung jawab.
c. Berdusta, menipu, mencuri, menyakiti orang lain atau sebalikanya, ingin dipuji, tak pernah menyulitkan orang lain, penakut dan kurang percaya diri.
d. Tidak mempunyai inisiatif dan tanggung jawab, kurangnya keberanian dan sangat bergantung pada orang lain.
e. Agresif terhadap diri sendiri, curiga, acuh tak acuh, banyak mengkayal.
f. Memperlihatkan perbuatan gugup, misalnya: menggigit kuku, komat-kamit dan sebagainya.
2. Rasa rendah diri yang berlebih ditandai dengan ciri-ciri:
a. Terlalu memepersoalkan diri sendiri, sering minta maaf, takut tampil di muka umum dan takut bicara.
b. Mengeluh dengan nada nasib malang dan segan melakukan hal – hal baru atau yang dapat mengungkap kekurangannya.
c. Selalu ingin sempurna, tidak puas dengan apa yang diperbuat.
d. Bersikap introvet (lebih banyak mengarahkan perhatian pada diri sendiri/bersikap sangat tertutup).
3. Merendahkan harga diri, sitandai dengan ciri-ciri:
a. Bernada murung, cepat merasa tersinggung.
b. Merasa tidak enak, sakit buatan
c. Berpura-pura lebih dari orang lain, misalnya memonjolkan diri, berbicara lantang dann merendahkan orang lain.
d. Membuat kompensasi.
e. Melakukan perbuatan jahat.
Membaca ciri-ciri di atas, terutama poin 1-e dan 2-c, saya pun jadi teringat tentang obsesif-kompulsif. Apa bedanya dengan obsesif kompulsif ya…. ?! Mari kita cek dulu definisi gangguan obsesif-kompulsif.
Menurut kamuskesehatan.com, obsesif-kompulsif (obsessive-compulsive disorder)adalah gangguan kecemasan yang ditandai dengan pikiran, impuls, gambaran atau gagasan yang berulang dan mengganggu (obsesi) disertai dengan upaya untuk menekan pikiran-pikiran tersebut melalui perilaku fisik atau mental tertentu yang irasional dan ritualistik (kompulsi). Obsesi dan kompulsi menghabiskan sejumlah besar waktu pasien (satu jam atau lebih setiap hari) dan biasanya menyebabkan tekanan emosional yang signifikan dan menyulitkan hubungan dengan orang lain.
Ternyata tunalaras lebih kompleks ‘sekali’ daripada obsesif-kompulsif. Obsesif-kompulsif hanya terkait dengan keinginan yang irrasional dan ritualistic, namun tunalaras terkait juga dengan gangguan emosional dan sosial yang kronis. Dengan demikian, seorang yang mengalami tunalaras juga kemungkinan mengalami gangguan obsesif-kompulsif.
Bagaimanakah bentuk layanan pendidikan bagi anak tunalaras di sekolah untuk ABK ? Layanan pendidikan dapat berupa:
1. Penyelenggaraan bimbingan dan penyuluhan di sekolah reguler kelas khusus, bila anak tunalaras perlu belajar terpisah dari teman sekelasnya.
2. SLB-E (untuk tunalaras) tanpa asrama.
3. SLB-E dengan asrama, bagi anak yang tingkat kenakalannya berat.
4. Terapi perilaku sosial.
5. Terapi kelompok.
Bagaimana jika kelainan tunalaras diketahui setelah dewasa ? Hal ini tentunya kita konsultasikan pada psikolog atau psikiater untuk penanganan masalah ini. Demikian, semoga tulisan ini dapat memberi wawasan baru bagi kita.
###

Sumber:
http://slbn-smg.sch.id/index.php
http://id.wikipedia.org/wiki/Tunalaras
http://kamuskesehatan.com/arti/gangguan-obsesif-kompulsif/

Strategi Lebih Sehat, Langsing dan Awet Muda

Oleh: Gita Kostania

Menjadi langsing, namun tetap sehat dan awet muda merupakan hasil akhir dari diet yang sehat. Dan tentunya olah raga teratur menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Sempatkan olahraga tiap harinya, walau hanya 10 menit latihan.

Berikut, beberapa tips agar kita tetap sehat dengan badan yang langsing dan tentunya awet muda.

1)      Makanlah hanya di tempat tertentu.

Makanlah di ruang makan rumah Anda. Buatlah ruang makan nyaman dan bersih, sehingga kita ‘betah’ berada di ruang makan. Hindari makan di ruang tamu, ruang TV atau kamar tidur. Makan di ruang makan akan membuat kita focus dalam menikmati makanan yang telah tersedia. Dengan menikmati makanan, akan menghindari kita dari makan berlebihan akibat makan terlalu cepat. Rasa kenyang dan puas baru akan muncul di otak setelah makan kira-kira 20 menit. Jadi apabila kita makan terlalu cepat, ketika rasa kenyang dan puas itu muncul, kemungkinan kita sudah terlalu makan banyak.

2)      Tidak menghitung gigitan.

Biasanya kita akan makan makanan kecil sambil mengerjakan pekerjaan lain, menonton TV atau saat santai. Kita pikir hal tersebut tidak masuk hitungan kalori, terlebih lagi makanan kecil jarang sekali membuat kita kenyang. Padahal, makan-makanan kecil yang tidak terkontrol justru akan mengakibatkan banyak timbunan lemak di tubuh. Cara mengatasinya, buatlah komitmen dengan diri kita sendiri, bahwa kita tidak akan makan saat bekerja, atau sat nonton TV. Buat juga catatan makanan (jika perlu). Hal ini tidak hanya akan membantu menyadarkan betapa banyak kita makan, tetapi juga membuat berfikir dua kali untuk mengkonsumsinya.

3)      Jangan makan sambil melamun.

Kadang saat ada banyak hal yang menyita perhatian kita, seringkali kita makan sambil memikirkan hal tersebut (malamun). Hal ini secara tidak sadar dapat membuat kita makan terlalu banyak tanpa disadari. Seringkali makan bukan karena lapar, tetapi karena kompensasi hal tersebut. Nah, untuk itu perhatikan pada saat kapan muncul keinginan makan tersebut, apakah saat marah, panic, frustasi, atau ingin merayakan sesuatu. Jadi setiap kali menyentuh makanan, tanyakan pada diri sendiri apakah memang lapar ?! tan da kita memang benar-benar lapar adalah, sat kita merasa lapar kemudian makan, maka rasa tersebut akan hilang. Namun apabila kita lapar karena alasaaan tertentu, maka dengan makan tidak akan membuat kita kenyang. Rasa haus juga dapat membuat kita mengira sedang lapar. Meskipun demikian, tetap kita tidak boleh menunda-nunda waktu makan. Saat kita terlambat makan, maka metabolism tubuh langsung melambat, sehingga kalori yang masuk baik berupa protein, karbohidrat, atau lemak alngsung disimpan sebagai lemak. Untuk itu, disiplinlah dalam menjaga pola makan, makan sebelum lapar dalam kondisi sadar, dengan merasakan setiap suapan dan menikmati makanan tersebut, pastikan bahwa kita sudah selesai mengunyah makanan sebelum suapan berikutny, serta berhenti sebelum kenyang.

4)      Ngemil secara cerdas.

Apabila kita termasuk orang yang tidak bisa tatap merasa kenyang tanpa ngemil, maka ganti camilan kita dengan makanan kecil yang sehat, rendah lamak dan rendah kalori, sebaiknya tinggi serat seperti buah atau sayuran. Dapat juga berupa kacang-kacangan (secukupnya) seperti: kacang almond, kenari, kedelai, atau yang lainnya, dan sebaiknya tidak digoreng dengan minyak. Ngemil secara cerdas dapat juga dengan merubah pola makan menjadi lebih banyak namun porsi kecil. Contoh, biasanya makan tiga kali sehari, namun diubah menjadi enam kali sehari porsi sedikit. Sehingga apabila diakumulasikan jumlah kalori sama dengan apabila makan tiga kali sehari. Ternyata makan porsi sedikit namun lebih sering, menurut penelitian yang dilakukan University of Toronto Canada, dapat menurunkan resiko terkena serangan jantung, lebih rendah kadar kolesterolnya, dan tidak mengalami penuaan arteri lebih dini diabanding orang yang makan lebih jarang dengan porsi banyak.

5)      Jaga porsi makan.

Memperhatikan porsi makan yang kita makan adalah cara yang baik untuk mengatur jumlah kalori yang masuk dan mengontrol berat badan. Gunakan kepalan tangan untuk mengukur sebagai patokan, karena lambung kita sebesar kepalan tangan. Mengkonsumsi makanan melebihi kepalan tangan akan membuat lambung mengembang melebihi bat kennyamanan dan kesehatan. Makanlah secukupnya yang dibutuhka tubuh, berhentilah sebentar sebelum menghabiskan makanan dan berhentilah makan sebelum perut benar-benar terasa kenyang dan penuh.

6)      Kurangi porsi makan.

Walaupun kita sedang tidak dalam program penurunan berat badan, namun tetap pikirkan porsi makan yang kita konsumsi dengan mengontrol porsi makan, kita tidak akan menjumpai lemak-lemak yang menonjol disana-sini karena banyaknya makanan yng dikonsumsi. Kalau biasanya kita makan dengan piring besar dan cembung, maka gantilah dengan piring yng lebih kecil dan lebih pipih. Hal ini akan mengubah mindset otak kita, karena kita cenderung menghabiskan makanan yang tersaji di piring. Mengurangi porsi makan 10% tiap kali makan dari porsi biasa, tidak akan terlalu menjadi beban bagi kita karena jumlahnya tidak begitu terasa.

7)      Puasa tiap bulannya.

Salah satu tips sehat ala Rosullullah SAW adalah dengan menjalankan puasa sunah tiap bulannya. Puasa yang dilakukan bisa setiap Senin dan kamis, atau setiap tanggal 13, 14 dan 15 tiap bulan (kalender Hijriyah). Salah satu keuntungan lain dengan rutin menjalankan puasa sunah adalah dapat membuat kita tetap awet muda. Puasa juga merupakan cara yang tepat untuk mendetoksifikasi tubuh kita dari berbagai macam racun yang mengendap di tubuh. Tentunya puasa yang dilakukan adalah puasa yang benar, dimulai dari sahur sebelum fajar dengan mengkonsumsi makanan yang berprotein tinggi diimbangi juga dengan cukup cairan, dan diakhiri dengan berbuka secukupnya. Prinsip berpuasa adalah mengatur ulang jadwal makan sesuai kaidah berpuasa (tata cara Islam), dengan tidak mengurangi porsi nutrisi yang harus dikonsumsi sesuai BMR (Basal Metabolism Rate), serta cukup cairan dan serat.

Gambar: Jadwal Puasa Wajib dan Sunnah Tahun 2014

?????

Nah, bagaimana?! Kira-kira bisa dijalani?! Ingat, bahwa kerja keras dalam mengupayakan kesehatan kita pasti akan terbayar. Jangan pernah berfikir bahwa kita bisa langsing hanya dalam waktu semalam. Jadikan ini sebagai bagian dari gaya hidup kita, dengan kata lain tetap kita jalani sepanjang kita hidup.

Kenali tubuh dan kepribadian kita agar kesehatan optimal mudah diraih. Salam sehat, langsing dan awet muda.

#berbagai sumber.

Kebutuhan Dasar Ibu Bersalin

Oleh: Gita Kostania

Proses persalinan pada dasarnya merupakan suatu hal fisiologis yang dialami oleh setiap ibu bersalin, sekaligus merupakan suatu hal yang menakjubkan bagi ibu dan keluarga. Namun, rasa khawatir, takut maupun cemas akan muncul pada saat memasuki proses persalinan. Perasaan takut dapat meningkatkan respon fisiologis dan psikologis, seperti: nyeri, otot-otot menjadi tegang dan ibu menjadi cepat lelah, yang pada akhirnya akan menghambat proses persalinan.

Bidan sebagai pemberi asuhan dan pendamping persalinan diharapkan dapat memberikan pertolongan, bimbingan dan dukungan selama proses persalinan berlangsung. Asuhan yang mendukung selama persalinan merupakan standar pelayanan kebidanan. Yang dimaksud dengan asuhan mendukung adalah bersifat aktif dan ikut serta selama proses asuhan berlangsung. Kebutuhan dasar ibu selama persalinan menurut Lesser dan Kenne meliputi:

  1. Asuhan fisik dan psikologis
  2. Kehadiran seorang pendamping secara terus-menurus
  3. Pengurangan rasa sakit
  4. Penerimaan atas sikap dan perilakunya
  5. Informasi dan kepastian tentang hasil persalinan aman.

Pada bahasan ini, akan mengulas tentang kebutuhan dasar ibu bersalin, terdiri dari dua sub materi, yaitu:

  1. Sub materi 1 : Kebutuhan Fisiologis Ibu Bersalin
  2. Sub materi 2 : Kebutuhan Psikologis Ibu Bersalin

Berdasarkan lima kebutuhan dasar ibu bersalin menurut Lesser dan Kenne, maka kebutuhan dasar ibu bersalin dapat dibedakan menjadi dua (sesuai dengan sub materi pada bahasan ini), yaitu kebutuhan dasar fisiologis dan kebutuhan dasar psikologis.

Diharapkan setelah mempelajari materi ini, Anda dapat menguasai tentang kebutuhan dasar ibu bersalin pada setiap tahapan persalinan (kala I, II, III dan IV), terdiri dari:

  1. Kebutuhan fisiologis, meliputi: kebutuhan oksigen, cairan dan nutrisi, kebutuhan eliminasi, posisi dan ambulasi, pengurangan rasa nyeri, hygiene, istirahat, penjahitan perineum (bila perlu), dan pertolongan persalinan terstandar.
  2. Kebutuhan psikologis, meliputi: sugesti, mengalihkan perhatian dan kepercayaan.

Kompetensi di atas perlu dikuasai bidan sebagai pemberi asuhan dan pendamping persalinan, sehingga dapat mendukung proses persalinan yang aman dan fisiologis, untuk mengurangi angka morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi.

Tujuan pembelajaran tentang kebutuhan dasar ibu bersalin ini, dapat tercapai dengan baik apabila peserta didik mengikuti langkah-langkah belajar sebagai berikut:

  1. Memahami terlebih dahulu tentang konsep dasar persalinan dan asuhan persalinan.
  2. Telah menguasai materi tentang perubahan fisiologis dan psikologis selama persalinan.
  3. Dapat menjelaskan faktor-faktor yang memepengaruhi persalinan.
  4. Penguasaan kompetensi tergantung pada keaktifan peserta didik dalam belajar dan mengerjakan latihan-latihan. Untuk itu, rajinlah berlatih baik secara mendiri maupun berkelompok.

Akhir kata, semoga pembahasan ini bermanfaat bagi Anda. Selamat belajar, semoga sukses dalam menguasai target kompetensi yang diuraikan, sebagai bekal bagi Anda menjadi bidan profesional dan mandiri.

Asuhan Sayang Ibu Kala II Persalinan

Oleh: Gita Kostania

Bentuk-bentuk asuhan sayang ibu pada kala 2 persalinan meliputi :

  1. Pendampingan keluarga –> selama proses persalinan berlangsung, ibu membutuhkan pendamping dari keluarga (suami, orang tua, atau kerabat yang disayangi ibu). Bidan bertugas memfasilitasi pendampingan keluarga, agar dapat mewujudkan persalinan yang lancar.
  2. Melibatkan keluarga –> dalam memberikan asuhan kebidanan selama proses persalinan, keterlibatan keluarga dibutuhkan, misalnya dalam hal: berganti posisi, teman bicara, melakukan rangsangan, memberi makan dan minum, membantu mengatasi rasa nyeri (pijat lumbal/pinggang belakang). Bidan bertugas memfasilitasi keterlibatan keluarga dalam setiap asuhan.
  3. KIE proses persalinan –> dalam asuhan sayang ibu, bidan berkewajiban memberikan informasi mengenai proses persalinan atau kelahiran janin pada ibu dan keluarga. Hal ini bertujuan agar ibu dan keluarga kooperatif dan dapat mengurangi tingkat kecemasan. Pada setiap tindakan yang akan dilakukan, bidan harus selalu menginformasikan pada ibu dan keluarga, serta memberikan kesempatan bertanya tentang apapun yang dirasa belum jelas, kemudian bidan wajib memberikan penjelasan dengan baik. Setiap hasil tindakan/pemeriksaan, bidan menginformasikan kepada ibu dan keluarga.
  4. Dukungan psikologis –> dukungan psikologis dapat diberikan dengan bimbingan persalinan dan menawarkan bantuan/pertolongan pada ibu dan keluarga. Bidan memberikan kenyamanan, dan berusaha menenangkan hati ibu dalam menghadapi dan menjkalani proses persalinan. Bidan juga memberikan perhatian agar dapat mengurangi tingkat ketegangan/kecemasan, sehingga dapat membantu kelancaran proses persalinan.
  5. Membantu ibu memilih posisi persalinan –> posisi persalinan dibedakan menjadi dua, yaitu posisi persalinan kala 1 dan posisi persalinan kala 2. Posisi persalinan yang tepat (kala 1 dan kala 2), dapat mengurangi tingkat nyeri dan meningkatkan kenyamanan ibu.
  6. Pemberian nutrisi (makan dan minum) –> bidan perlu memperhatikan pemenuhan kebutuhan cairan, elektrolit dan nutrisi ibu bersalin. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya dehidrasi dan kala 2 memanjang. Dehidrasi pada ibu bersalin dapat berpengaruh terhadap gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit yang penting, yang dapat berpengaruh pada kontraksi uterus dan kemanjuan persalinan.
  7. Cara meneran/mengejan –> bidan mulai memimpin ibu untuk mengejan saat pembukaan sudah lengkap dan sudah ada dorongan meneran dari ibu. Memimpin meneran dengan benar dan memperhatikan respon ibu, merupakan bentuk asuhan sayang ibu. Bidan tidak diperkenankan meminta ibu untuk secara terus-menerus meneran tanpa mengambil nafas saat meneran (tidak diperkenankan memimpin meneran sambil menyuruh ibu menahan nafas). Bidan sebaiknya menyarankan ibu untuk beristirahat dalam waktu relaksasi kontraksi (diantara dua his). Hal ini bertujuan untuk mengantisipasi agar ibu tidak kelelahan dan menghindari resiko asfiksia karena suply oksigen ke janin melalui placenta berkurang.

Kebutuhan Psikologis Ibu Bersalin

Oleh: Gita Kostania

Kebutuhan psikologis pada ibu bersalin merupakan salah satu kebutuhan dasar pada ibu bersalin yang perlu diperhatikan bidan. Keadaan psikologis ibu bersalin sangat berpengaruh pada proses dan hasil akhir persalinan. Kebutuhan ini berupa dukungan emosional dari bidan sebagai pemberi asuhan, maupun dari pendamping persalinan baik suami/anggota keluarga ibu. Dukungan psikologis yang baik dapat mengurangi tingkat kecemasan pada ibu bersalin yang cenderung meningkat.

Dukungan psikologis yang dapat diberikan bidan untuk dapat mengurangi tingkat kecemasan ibu adalah dengan membuatnya merasa nyaman. Hal ini dapat dilakukan dengan: membantu ibu untuk berpartisipasi dalam proses persalinannya dengan tetap melakukan komunikasi yang baik, memenuhi harapan ibu akan hasil akhir persalinan, membantu ibu untuk menghemat tenaga dan mengendalikan rasa nyeri, serta mempersiapkan tempat persalinan yang mendukung dengan memperhatikan privasi ibu.

Secara terperinci, dukungan psikologis pada ibu bersalin dapat diberikan dengan cara: memberikan sugesti positif, mengalihkan perhatian terhadap rasa sakit dan ketidaknyamanan selama persalinan, dan membangun kepercayaan dengan komunikasi yang efektif.

 1. Pemberian Sugesti

Pemberian sugesti bertujuan untuk memberikan pengaruh pada ibu dengan pemikiran yang dapat diterima secara logis. Sugesti yang diberikan berupa sugesti positif yang mengarah pada tindakan memotivasi ibu untuk melalui proses persalinan sebagaimana mestinya. Menurut psikologis sosial individu, orang yang mempunyai keadaan psikis labil akan lebih mudah dipengaruhi/mendapatkan sugesti. Demikian juga pada wanita bersalin yang mana keadaan psikisnya dalam keadaan kurang stabil, mudah sekali menerima sugesti/pengaruh.

Sugesti positif yang dapat diberikan bidan pada ibu bersalin diantaranya adalah dengan mengatakan pada ibu bahwa proses persalinan yang ibu hadapi akan berjalan lancar dan normal, ucapkan hal tersebut berulang kali untuk memberikan keyakinan pada ibu bahwa segalanya akan baik-baik saja. Contoh yang lain, misal saat terjadi his/kontraksi, bidan membimbing ibu untuk melakukan teknik relaksasi dan memberikan sugesti bahwa dengan menarik dan menghembuskan nafas, seiring dengan proses pengeluaran nafas, rasa sakit ibu akan berkurang.

Sebaiknya bidan selalu mengucapkan kata-kata positif yang dapat memotivasi ibu untuk tetap semangat dalam menjalani proses persalinan.  Inti dari pemberian sugesti ini adalah pada komunikasi efektif yang baik. Bidan juga dituntut untuk selalu bersikap ramah dan sopan, dan menyenangkan hati ibu dan suami/keluarga. Sikap ini akan menambah besarnya sugesti yang telah diberikan.

 2. Mengalihkan Perhatian

Mengalihkan perhatian dari rasa sakit yang dihadapi selama proses persalinan berlangsung dapat mengurangi rasa sakit yang sebenarnya. Secara psikologis, apabila ibu merasakan sakit, dan bidan tetap fokus pada rasa sakit itu dengan menaruh rasa empati/belas kasihan yang berlebihan, maka rasa sakit justru akan bertambah.

Upaya yang dapat dilakukan bidan dan pendamping persalinan untuk mengalihkan perhatian ibu dari rasa sakit selama persalinan misalnya adalah dengan mengajaknya berbicara, sedikit bersenda gurau, mendengarkan musik kesukaannya atau menonton televisi/film. Saat kontraksi berlangsung dan ibu masih tetap merasakan nyeri pada ambang yang tinggi, maka upaya-upaya mengurangi rasa nyeri misal dengan teknik relaksasi, pengeluaran suara, dan atau pijatan harus tetap dilakukan.

 3. Membangun Kepercayaan

Kepercayaan merupakan salah satu poin yang penting dalam membangun citra diri positif ibu dan membangun sugesti positif dari bidan. Ibu bersalin yang memiliki kepercayaan diri yang baik, bahwa dia mampu melahirkan secara normal, dan dia percaya bahwa proses persalinan yang dihadapi akan berjalan dengan lancar, maka secara psikologis telah mengafirmasi alam bawah sadar ibu untuk bersikap dan berperilaku positif selama proses persalinan berlangsung sehingga hasil akhir persalinan sesuai dengan harapan ibu.

Untuk membangun sugesti yang baik, ibu harus mempunyai kepercayaan pada bidan sebagai penolongnya, bahwa bidan mampu melakukan pertolongan persalinan dengan baik sesuai standar, didasari pengetahuan dasar dan keterampilan yang baik serta mempunyai pengalaman yang cukup. Dengan kepercayaan tersebut, maka dengan sendirinya ibu bersalin akan merasa aman dan nyaman selama proses persalinan berlangsung.

Rangkuman

Pemenuhan kebutuhan psikologis pada ibu bersalin harus diperhatikan dengan baik oleh bidan, karena keadaan psikologis ibu bersalin sangat berpengaruh pada proses dan hasil akhir persalinan. Kebutuhan ini berupa dukungan emosional baik dari bidan maupun pendamping persalinan (suami/anggota keluarga).

Komunikasi efektif antara bidan dengan ibu bersalin dan pendamping persalinan, merupakan poin terpenting dalam pemenuhan kebutuhan psikologis ibu bersalin.

Kebutuhan psikologis ibu bersalin dapat  terpenuhi dengan baik melalui upaya: memberikan sugesti positif, mengalihkan perhatian terhadap rasa sakit dan ketidaknyamanan selama persalinan, dan membangun kepercayaan dengan komunikasi yang efektif.

Referensi:

Anonim. 2013. http://id.wikipedia.org/wiki/Gula_darah: Glukosa Darah. Diakses pada Rabu, 3 Juli 2013, 10.15.

Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien. Salemba Medika, Jakarta.

Azlin, Emil. 2011. Seri Pediatri, Vol.13, No.3, Oktober 2011: Hubungan antara Skor Apgar dengan Kadar Glukosa Drah pada BBL. Departeman Ilmu Kesehatan Anak, FK USU/RSUP H.Adam Malik: Medan.

Azwar, Azrul. 2002. Asuhan Persalinan Normal. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Bobak, Lowdermilk, Jensen (Alih bahasa: Wijayarini, Anugerah). 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas, edisi 4. EGC, Jakarta.

Chapman, Vicky. 2006. Asuhan Kebidanan Persalinan dan Kelahiran. EGC, Jakarta.

Depkes RI. 2001. Catatan Perkembangan dalam Praktik Kebidanan. Depkes RI, Jakarta.

Draft. 2001. Pelatihan Pelayanan Kebidanan. Jakarta.

Fraser, Cooper (Alih bahasa: Rahayu, et.al.). 2009. Myles, Buku Ajar Bidan, edisi 14. EGC, Jakarta.

Hidayat, A. aziz. 2008. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia: Aplikasi Konsep dan Proses Keperawatan. Salemba Medika, Jakarta.

JNPK-KR. 2008. Asuhan Persalinan Normal. JNPK-KR Depkes RI, Jakarta.

Leksana, Ery. 2011. CDK 185/Vol.38 no.4/Mei-Juni 2011: Mengatasi Nyeri Persalinan. SMF/Bagian Anestesi dan Terapi Intensif RSUP dr. Kariadi/FK Undip, Semarang.

Mander, Rosemary. 2004. Nyeri Persalinan. EGC, Jakarta.

Mean. 2003. Video Pembelajaran : Proses Kelahiran dan Kekuatan Alami Melalui Pelepasan Hormone dan Posisi Melahirkan, Disampaikan pada seminar Frisian Flag-IBI di Jakarta.

Nolan, Mary. 2004. Kehamilan dan Melahirkan. Arcan, Jakarta.

Pusdiknakes. 2003. Asuhan Intrapartum. Jakarta.

Simkin, Ancheta. 2005. Buku Saku Persalinan. EGC, Jakarta.

Sulistyawati, Ari. 2010. Asuhan Kebidanan Pada Ibu Bersalin. Salemba Medika, Jakarta.

Sumarah, Widyastuti, Wiyati. 2008. Perawatan Ibu Bersalin (Asuhan Kebidanan pada Ibu Bersalin). Fitramaya, Yogyakarta.

Varney, Helen, et.al. 2002. Buku Saku Bidan. EGC, Jakarta.

Kebutuhan Fisiologis Ibu Bersalin

Oleh: Gita Kostania

Menurut Abraham Maslow, kebutuhan dasar manusia adalah suatu kebutuhan manusia yang paling dasar/pokok/utama yang apabila tidak terpenuhi akan terjadi ketidakseimbangan di dalam diri manusia. Kebutuhan dasar manusia terdiri dari: kebutuhan fisiologis (tingkatan yang paling rendah/dasar), kebutuhan rasa aman dan perlindungan, kebutuhan akan dicintai dan mencintai, kebutuhan harga diri, dan kebutuhan akan aktualisasi diri. Kebutuhan fisiologis diantaranya seperti: kebutuhan akan oksigen, cairan (minuman), nutrisi (makanan), keseimbangan suhu tubuh, eliminasi, tempat tinggal, personal hygiene, istirahat dan tidur, serta kebutuhan seksual.

Kebutuhan fisiologis ibu bersalin merupakan suatu kebutuhan dasar pada ibu bersalin yang harus dipenuhi agar proses persalinan dapat berjalan dengan lancar dan fisiologis. Kebutuhan dasar ibu bersalin yang harus diperhatikan bidan untuk dipenuhi yaitu: kebutuhan oksigen, cairan dan nutrisi, eliminasi, hygiene (kebersihan personal), istirahat, posisi dan ambulasi, pengurangan rasa nyeri, penjahitan perineum (jika diperlukan), serta kebutuhan akan pertolongan persalinan yang terstandar. Pemenuhan kebutuhan dasar ini berbeda-beda, tergantung pada tahapan persalinan, kala I, II, III atau IV.

 D.1. Kebutuhan Oksigen

            Pemenuhan kebutuhan oksigen selama proses persalinan perlu diperhatikan oleh bidan, terutama pada kala I dan kala II, dimana oksigen yang ibu hirup sangat penting artinya untuk oksigenasi janin melalui plasenta. Suply oksigen yang tidak adekuat, dapat menghambat kemajuan persalinan dan dapat mengganggu kesejahteraan janin. Oksigen yang adekuat dapat diupayakan dengan pengaturan sirkulasi udara yang baik selama persalinan. Ventilasi udara perlu diperhatikan, apabila ruangan tertutup karena menggunakan AC, maka pastikan bahwa dalam ruangan tersebut tidak terdapat banyak orang. Hindari menggunakan pakaian yang ketat, sebaiknya penopang payudara/BH dapat dilepas/ dikurangi kekencangannya. Indikasi pemenuhan kebutuhan oksigen adekuat adalah Denyut Jantung Janin (DJJ) baik dan stabil.

 D.2. Kebutuhan Cairan dan Nutrisi

Kebutuhan cairan dan nutrisi (makan dan minum) merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi dengan baik oleh ibu selama proses persalinan. Pastikan bahwa pada setiap tahapan persalinan (kala I, II, III, maupun IV), ibu mendapatkan asupan makan dan minum yang cukup. Asupan makanan yang cukup       (makanan utama maupun makanan ringan), merupakan sumber dari glukosa darah. Glukosa darah merupakan sumber utama energi untuk sel-sel tubuh. Kadar gula darah yang rendah akan mengakibatkan hipoglikemia. Sedangkan asupan cairan yang kurang, akan mengakibatkan dehidrasi pada ibi bersalin.

Pada ibu bersalin, hipoglikemia dapat mengakibatkan komplikasi persalinan baik ibu maupun janin. Pada ibu, akan mempengaruhi kontraksi/his, sehingga akan menghambat kemajuan persalinan dan meningkatkan insiden persalinan dengan tindakan, serta dapat meningkatkan risiko perdarahan postpartum. Pada janin, akan mempengaruhi kesejahteraan janin, sehingga dapat mengakibatkan komplikasi persalinan seperti asfiksia.

Dehidrasi pada ibu bersalin dapat mengakibatkan melambatnya kontraksi/his, dan mengakibatkan kontraksi menjadi tidak teratur. Ibu yang mengalami dehidrasi dapat diamati dari bibir yang kering, peningkatan suhu tubuh, dan eliminasi yang sedikit.

Dalam memberikan asuhan, bidan dapat dibantu oleh anggota keluarga yang mendampingi ibu. Selama kala I, anjurkan ibu untuk cukup makan dan minum, untuk mendukung kemajuan persalinan. Pada kala II, ibu bersalin mudah sekali mengalami dehidrasi, karena terjadi peningkatan suhu tubuh dan terjadinya kelelahan karena proses mengejan. Untuk itu disela-sela kontraksi, pastikan ibu mencukupi kebutuhan cairannya (minum). Pada kala III dan IV, setelah ibu berjuang melahirkan bayi, maka bidan juga harus memastikan bahwa ibu mencukupi kebutuhan nutrisi dan cairannya, untuk mencegah hilangnya energi setelah mengeluarkan banyak tenaga selama kelahiran bayi (pada kala II).

D.3. Kebutuhan Eliminasi

Pemenuhan kebutuhan eliminai selama persalinan perlu difasilitasi oleh bidan, untuk membantu kemajuan persalinan dan meningkatkan kenyamanan pasien. Anjurkan ibu untuk berkemih secara spontan sesering mungkin atau minimal setiap 2 jam sekali selama persalinan. Kandung kemih yang penuh, dapat mengakibatkan:

  1. Menghambat proses penurunan bagian terendah janin ke dalam rongga panggul, terutama apabila berada di atas spina isciadika
  2. Menurunkan efisiensi kontraksi uterus/his
  3. Mengingkatkan rasa tidak nyaman yang tidak dikenali ibu karena bersama dengan munculnya kontraksi uterus
  4. Meneteskan urin selama kontraksi yang kuat pada kala II
  5. Memperlambat kelahiran plasenta
  6. Mencetuskan perdarahan pasca persalinan, karena kandung kemih yang penuh menghambat kontraksi uterus.

Apabila masih memungkinkan, anjurkan ibu untuk berkemih di kamar mandi, namun apabila sudah tidak memungkinkan, bidan dapat membantu ibu untuk berkemih dengan wadah penampung urin. Bidan tidak dianjurkan untuk melakukan kateterisasi kandung kemih secara rutin sebelum ataupun setelah kelahiran bayi dan placenta. Kateterisasi kandung kemih hanya dilakukan apabila terjadi retensi urin, dan ibu tidak mampu untuk berkemih secara mandiri. Kateterisasi akan meningkatkan resiko infeksi dan trauma atau perlukaan pada saluran kemih ibu.

Sebelum memasuki proses persalinan, sebaiknya pastikan bahwa ibu sudah BAB. Rektum yang penuh dapat mengganggu dalam proses kelahiran janin. Namun apabila pada kala I fase aktif ibu mengatakan ingin BAB, bidan harus memastikan kemungkinan adanya tanda dan gejala kala II. Apabila diperlukan sesuai indikasi, dapat dilakukan lavement pada saat ibu masih berada pada kala I fase latent.

 D.4. Kebutuhan Hygiene (Kebersihan Personal)

Kebutuhan hygiene (kebersihan) ibu bersalin perlu diperhatikan bidan dalam memberikan asuhan pada ibu bersalin, karena personal hygiene yang baik dapat membuat ibu merasa aman dan relax, mengurangi kelelahan, mencegah infeksi, mencegah gangguan sirkulasi darah, mempertahankan integritas pada jaringan dan memelihara kesejahteraan fisik dan psikis.

Tindakan personal hygiene pada ibu bersalin yang dapat dilakukan bidan diantaranya: membersihkan daerah genetalia (vulva-vagina, anus), dan memfasilitasi ibu untuk menjaga kebersihan badan dengan mandi.

Mandi pada saat persalinan tidak dilarang. Pada sebagian budaya, mandi sebelum proses kelahiran bayi merupakan suatu hal yang harus dilakukan untuk mensucikan badan, karena proses kelahiran bayi merupakan suatu proses yang suci dan mengandung makna spiritual yang dalam. Secara ilmiah, selain dapat membersihkan seluruh bagian tubuh, mandi juga dapat meningkatkan sirkulasi darah, sehingga meningkatkan kenyamanan pada ibu, dan dapat mengurangi rasa sakit. Selama proses persalinan apabila memungkinkan ibu dapat diijinkan mandi di kamar mandi dengan pengawasan dari bidan.

Pada kala I fase aktif, dimana terjadi peningkatan bloodyshow dan ibu sudah tidak mampu untuk mobilisasi, maka bidan harus membantu ibu untuk menjaga kebersihan genetalianya untuk menghindari terjadinya infeksi intrapartum dan untuk meningkatkan kenyamanan ibu bersalin. Membersihkan daerah genetalia dapat dilakukan dengan melakukan vulva hygiene menggunakan kapas bersih yang telah dibasahi dengan air Disinfeksi Tingkat Tinggi (DTT), hindari penggunaan air yang bercampur antiseptik maupun lissol. Bersihkan dari atas (vestibulum), ke bawah (arah anus). Tindakan ini dilakukan apabila diperlukan, misal setelah ibu BAK, setelah ibu BAB, maupun setelah ketuban pecah spontan.

Pada kala II dan kala III, untuk membantu menjaga kebersihan diri ibu bersalin, maka ibu dapat diberikan alas bersalin (under pad) yang dapat menyerap cairan tubuh (lendir darah, darah, air ketuban) dengan baik. Apabila saat mengejan diikuti dengan faeses, maka bidan harus segera membersihkannya, dan meletakkannya di wadah yang seharusnya. Sebaiknya hindari menutupi bagian tinja dengan tisyu atau kapas ataupun melipat undarpad.

Pada kala IV setelah janin dan placenta dilahirkan, selama 2 jam observasi, maka pastikan keadaan ibu sudah bersih. Ibu dapat dimandikan atau dibersihkan di atas tempat tidur. Pastikan bahwa ibu sudah mengenakan pakaian bersih dan penampung darah (pembalut bersalin, underpad) dengan baik. Hindari menggunakan pot kala, karena hal ini mengakibatkan ketidaknyamanan pada ibu bersalin. Untuk memudahkan bidan dalam melakukan observasi, maka celana dalam sebaiknya tidak digunakan terlebih dahulu, pembalut ataupun underpad dapat dilipat disela-sela paha.

D.5. Kebutuhan Istirahat

Selama proses persalinan berlangsung, kebutuhan istirahat pada ibu bersalin tetap harus dipenuhi. Istirahat selama proses persalinan (kala I, II, III maupun IV) yang dimaksud adalah bidan memberikan kesempatan pada ibu untuk mencoba relax tanpa adanya tekanan emosional dan fisik. Hal ini dilakukan selama tidak ada his (disela-sela his). Ibu bisa berhenti sejenak untuk melepas rasa sakit akibat his, makan atau minum, atau melakukan hal menyenangkan yang lain untuk melepas lelah, atau apabila memungkinkan ibu dapat tidur. Namun pada kala II, sebaiknya ibu diusahakan untuk tidak mengantuk.

Setelah proses persalinan selesai (pada kala IV), sambil melakukan observasi, bidan dapat mengizinkan ibu untuk tidur apabila sangat kelelahan. Namun sebagai bidan, memotivasi ibu untuk memberikan ASI dini harus tetap dilakukan. Istirahat yang cukup setelah proses persalinan dapat membantu ibu untuk memulihkan fungsi alat-alat reproduksi dan meminimalisasi trauma pada saat persalinan.

 D.6. Posisi dan Ambulasi

Posisi persalinan yang akan dibahas adalah posisi persalinan pada kala I dan posisi meneran pada kala II. Ambulasi yang dimaksud adalah mobilisasi ibu yang dilakukan pada kala I.

Persalinan merupakan suatu peristiwa fisiologis tanpa disadari dan terus berlangsung/progresif. Bidan dapat membantu ibu agar tetap tenang dan rileks, maka bidan sebaiknya tidak mengatur posisi persalinan dan posisi meneran ibu. Bidan harus memfasilitasi ibu dalam memilih sendiri posisi persalinan dan posisi meneran, serta menjelaskan alternatif-alternatif posisi persalinan dan posisi meneran bila posisi yang dipilih ibu tidak efektif.

Bidan harus memahami posisi-posisi melahirkan, bertujuan untuk menjaga agar proses kelahiran bayi dapat berjalan senormal mungkin. Dengan memahami posisi persalinan yang tepat, maka diharapkan dapat menghindari intervensi yang tidak perlu, sehingga meningkatkan persalinan normal. Semakin normal proses kelahiran, semakin aman kelahiran bayi itu sendiri.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan posisi melahirkan :

  1. Klien/ibu bebas memilih, hal ini dapat meningkatkan kepuasan, menimbulkan perasaan sejahtera secara emosional, dan ibu dapat mengendalikan persalinannya secara alamiah.
  2. Peran bidan adalah membantu/memfasilitasi ibu agar merasa nyaman.
  3. Secara umum, pilihan posisi melahirkan secara alami/naluri bukanlah posisi berbaring.
  4. Sejarah: posisi berbaring diciptakan agar penolong lebih nyaman dalam bekerja. Sedangkan posisi tegak, merupakan cara yang umum digunakan dari sejarah penciptaan manusia sampai abad ke-18.

Pada awal persalinan, sambil menunggu pembukaan lengkap, ibu masih diperbolehkan untuk melakukan mobilisasi/aktivitas. Hal ini tentunya disesuaikan dengan kesanggupan ibu. Mobilisasi yang tepat dapat membantu dalam meningkatkan kemajuan persalinan, dapat juga mengurangi rasa jenuh dan kecemasan yang dihadapi ibu menjelang kelahiran janin.

Pada kala I, posisi persalinan dimaksudkan untuk membantu mengurangi rasa sakit akibat his dan membantu dalam meningkatkan kemajuan persalinan (penipisan cerviks, pembukaan cerviks dan penurunan bagian terendah). Ibu dapat mencoba berbagai posisi yang nyaman dan aman. Peran suami/anggota keluarga sangat bermakna, karena perubahan posisi yang aman dan nyaman selama persalinan dan kelahiran tidak bisa dilkukan sendiri olah bidan. Pada kala I ini, ibu diperbolehkan untuk berjalan, berdiri, posisi berdansa, duduk, berbaring miring ataupun merangkak. Hindari posisi jongkok, ataupun dorsal recumbent maupun lithotomi, hal ini akan merangsang kekuatan meneran. Posisi terlentang selama persalinan (kala I dan II) juga sebaiknya dihindari, sebab saat ibu berbaring telentang maka berat uterus, janin, cairan ketuban, dan placenta akan menekan vena cava inferior. Penekanan ini akan menyebabkan turunnya suply oksigen utero-placenta. Hal ini akan menyebabkan hipoksia. Posisi telentang juga dapat menghambat lemajuan persalinan.

Macam-macam posisi meneran diantaranya :

  1. Duduk atau setengah duduk, posisi ini memudahkan bidan dalam membantu kelahiran kepala janin dan memperhatikan keadaan perineum.
  2. Merangkak, posisi merangkak sangat cocok untuk persalinan dengan rasa sakit pada punggung, mempermudah janin dalam melakukan rotasi serta peregangan pada perineum berkurang.
  3. Jongkok atau berdiri, posisi jongkok atau berdiri memudahkan penurunan kepala janin, memperluas panggul sebesar 28% lebih besar pada pintu bawah panggul, dan memperkuat dorongan meneran. Namun posisi ini beresiko memperbesar terjadinya laserasi (perlukaan) jalan lahir.
  4. Berbaring miring, posisi berbaring miring dapat mengurangi penekanan pada vena cava inverior, sehingga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya hipoksia janin karena suply oksigen tidak terganggu, dapat memberi suasana rileks bagi ibu yang mengalami kecapekan, dan dapat mencegah terjadinya robekan jalan lahir.
  5. Hindari posisi telentang (dorsal recumbent), posisi ini dapat mengakibatkan : hipotensi (beresiko terjadinya syok dan berkurangnya suply oksigen dalam sirkulasi uteroplacenter, sehingga mengakibatkan hipoksia bagi janin), rasa nyeri yang bertambah, kemajuan persalinan bertambah lama, ibu mangalami gangguan untuk bernafas, buang air kecil terganggu, mobilisasi ibu kurang bebas, ibu kurang semangat, dan dapat mengakibatkan kerusakan pada syaraf kaki dan punggung.

Berdasarkan posisi meneran di atas, maka secara umum posisi melahirkan dibagi menjadi 2, yaitu posisi tegak lurus dan posisi berbaring. Secara anatomi, posisi tegak lurus (berdiri, jongkok, duduk) merupakan posisi yang paling sesuai untuk melahirkan, kerena sumbu panggul dan posisi janin berada pada arah gravitasi. Adapun keuntungan dari posisi tegak lurus adalah :

1. Kekuatan daya tarik, meningkatkan efektivitas kontraksi dan tekanan pada leher rahim dan mengurangi lamanya proses persalinan.

Pada Kala 1

1)      Kontraksi, dengan berdiri uterus terangkat berdiri pada sumbu aksis pintu masuk panggul dan kepala mendorong cerviks, sehingga intensitas kontraksi meningkat.

2)      Pada posisi tegak tidak ada hambatan dari gerakan uterus.

3)      Sedangkan pada posisi berbaring, otot uterus lebih banyak bekerja dan proses persalinan berlangsung lebih lama.

Pada Kala 2

1)      Posisi tegak lurus mengakibatkan kepala menekan dengan kekuatan yang lebih besar, sehingga keinginan untuk mendorong lebih kuat dan mempersingkat kala 2.

2)      Posisi tegak lurus dengan berjongkok, mengakibatkan lebih banyak ruang di sekitar otot dasar panggul untuk menarik syaraf penerima dasar panggul yang ditekan, sehingga kadar oksitosin meningkat.

3)      Posisi tegak lurus pada kala 2 dapat mendorong janin sesuai dengan anatomi dasar panggul, sehingga mengurangi hambatan dalam meneran.

4)      Sedangkan pada posisi berbaring, leher rahim menekuk ke atas, sehingga meningkatkan hambatan dalam meneran.

2. Meningkatkan dimensi panggul

1)      Perubahan hormone kehamilan, menjadikan struktur panggul dinamis/fleksibel.

2)      Pergantian posisi, meningkatkan derajat mobilitas panggul.

3)      Posisi jongkok, sudut arkus pubis melebar mengakibatkan pintu atas panggul sedikit melebar, sehingga memudahkan rotasi kepala janin.

4)      Sendi sakroiliaka, meningkatkan fleksibilitas sacrum (bergerak ke belakang).

5)      Pintu bawah panggul menjadi lentur maksimum.

6)      Pada posisi tegak, sacrum bergerak ke dapan mangakibatkan tulang ekor tertarik ke belakang.

7)      Sedangkan pada posisi berbaring, tulang ekor tidak bergerak ke belakang tetapi ke depan (tekanan yang berlawanan).

3. Gambaran jantung janin abnormal lebih sedikit dengan kecilnya tekanan pada pembuluh vena cava inferior

1)      Pada posisi berbaring, berat uterus/ cairan amnion/ janin mengakibatkan adanya tekanan pada vena cava inferior, dan dapat menurunkan tekanan darah ibu. Serta perbaikan aliran darah berkurang setelah adanya kontraksi.

2)      Pada posisi tegak, aliran darah tidak terganggu, sehingga aliran oksigen ke janin lebih baik.

4. Kesejahteraan secara psikologis

1)      Pada posisi berbaring, ibu/klien menjadi lebih pasif dan menjadi kurang kooperatif, ibu lebih banyak mengeluarkan tenaga pada posisi ini.

2)      Pada posisi tegak, ibu/klien secara fisik menjadi lebih aktif, meneran lebih alami, menjadi lebih fleksibel untuk segera dilakukan ‘bounding’ (setelah bayi lahir dapat langsung dilihat, dipegang ibu, dan disusui).

Terdapat banyak keuntungan pada persalinan dengan posisi tegak lurus. Namun ada beberapa kerugian yang mungkin ditimbulkan dari persalinan dengan posisi tegak, diantaranya adalah :

5. Meningkatkan kehilangan darah

1)      Gaya gravitasi mengakibatkan keluarnya darah sekaligus dari jalan lahir setelah kelahiran janin, dan kontraksi meningkat sehingga placenta segera lahir.

2)      Meningkatkan terjadinya odema vulva, dapat dicegah dengan mengganti-ganti posisi.

6. Meningkatkan terjadinya perlukaan/laserasi pada jalan lahir

1)      Odema vulva, dapat dicegah dengan mengganti posisi (darah mengalir ke bagian tubuh yang lebih rendah).

2)      Luka kecil pada labia meningkat, tetapi luka akan cepat sembuh.

3)      Berat janin mendorong ke arah simfisis, mengakibatkan tekanan pada perineum meningkat, sehingga resiko rupture perineum meningkat.

Untuk memudahkan proses kelahiran bayi pada kala II, maka ibu dianjurkan untuk meneran dengan benar, yaitu:

  1. Menganjurkan ibu untuk meneran sesuai dorongan alamiah selama kontraksi berlangsung.
  2. Hindari menahan nafas pada saat meneran. Menahan nafas saat meneran mengakibatkan suply oksigen berkurang.
  3. Menganjurkan ibu untuk berhenti meneran dan istirahat saat tidak ada kontraksi/his
  4. Apabila ibu memilih meneran dengan posisi berbaring miring atau setengah duduk, maka menarik lutut ke arah dada dan menempelkan dagu ke dada akan memudahkan proses meneran
  5. Menganjurkan ibu untuk tidak menggerakkan anggota badannya (terutama pantat) saat meneran. Hal ini bertujuan agar ibu fokus pada proses ekspulsi janin.
  6. Bidan sangat tidak dianjurkan untuk melakukan dorongan pada fundus untuk membantu kelahiran janin, karena dorongan pada fundus dapat meningkatkan distosia bahu dan ruptur uteri.

Ilustrasi Posisi Persalinan dan Meneran

D.7. Pengurangan Rasa Nyeri

Nyeri  persalinan merupakan pengalaman subjektif tentang sensasi fisik yang terkait dengan kontraksi uterus, dilatasi dan penipisan serviks, serta penurunan janin selama persalinan. Respon fisiologis terhadap nyeri meliputi: peningkatan tekanan darah, denyut nadi, pernafasan, keringat, diameter pupil, dan ketegangan otot. Rasa nyeri ini apabila tidak diatasi dengan tepat, dapat meningkatkan rasa khawatir, tegang, takut dan stres, yang pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya persalinan lama.

Rasa nyeri selama persalinan akan berbeda antara satu dengan lainnya. Banyak faktor yang mempengaruhi persepsi rasa nyeri, diantaranya: jumlah kelahiran sebelumnya (pengalaman persalinan), budaya melahirkan, emosi, dukungan keluarga, persiapan persalinan, posisi saat melahirkan, presentasi janin, tingkat beta-endorphin, kontraksi rahim yang intens selama persalinan dan ambang nyeri alami. Beberapa ibu melaporkan sensasi nyeri sebagai sesuatu yang menyakitkan. Meskipun tingkat nyeri bervariasi bagi setiap ibu bersalin, diperlukan teknik yang dapat membuat ibu merasa nyaman saat melahirkan.

Tubuh memiliki metode mengontrol rasa nyeri persalinan dalam bentuk beta-endorphin. Sebagai opiat alami, beta-endorphin memiliki sifat mirip petidin, morfin dan heroin serta telah terbukti bekerja pada reseptor yang sama di otak. Seperti oksitosin, beta-endorphin dikeluarkan oleh kelenjar hipofisis dan kadarnya tinggi saat berhubungan seks, kehamilan dan kelahiran serta menyusui. Hormon ini dapat menimbulkan perasaan senang dan euphoria pada saat melahirkan. Berbagai cara menghilangkan nyeri diantaranya: teknik self-help, hidroterapi, pemberian entonox (gas dan udara) melalui masker, stimulasi menggunakan TENS (Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation), pemberian analgesik sistemik atau regional.

Menurut Peny Simpkin, beberapa cara untuk mengurangi nyeri persalinan adalah: mengurangi rasa sakit dari sumbernya, memberikan rangsangan alternatif yang kuat, serta mengurangi reaksi mental/emosional yang negatif dan reaksi fisik ibu terhadap rasa sakit. Adapun pendekatan-pendekatan yang dilakukan bidan untuk mengurangi rasa sakit pada persalinan menurut Hellen Varney adalah: pendamping persalinan, pengaturan posisi, relaksasi dan latihan pernafasan, istirahat dan privasi, penjelasan tentang kemajuan persalinan, asuhan diri, dan sentuhan.

Bidan dapat membantu ibu bersalin dalam mengurangi nyeri persalinan dengan teknik self-help. Teknik ini merupakan teknik pengurangan nyeri persalinan yang dapat dilakukan sendiri oleh ibu bersalin, melalui pernafasan dan relaksasi maupun stimulasi yang dilakukan oleh bidan. Teknik self-help dapat dimulai sebelum ibu memasuki tahapan persalinan, yaitu dimulai dengan mempelajari tentang proses persalinan, dilanjutkan dengan mempelajari cara bersantai dan tetap tenang, dan mempelajari cara menarik nafas dalam.

Stimulasi yang dapat dilakukan oleh bidan dalam mengurangi nyeri persalinan dapat berupa kontak fisik maupun pijatan. Pijatan dapat berupa pijatan/massage di daerah lombo-sacral, pijatan ganda pada pinggul, penekanan pada lutut, dan counterpressure. Cara lain yang dapat dilakukan bidan diantaranya adalah: memberikan kompres hangat dan dingin, mempersilahkan ibu untuk mandi atau berada di air (berendam).

Pada saat ibu memasuki tahapan persalinan, bidan dapat membimbing ibu untuk melakukan teknik self-help, terutama saat terjadi his/kontraksi. Untuk mendukung teknik ini, dapat juga dilakukan perubahan posisi: berjalan, berlutut, goyang ke depan/belakang dengan bersandar pada suami atau balon besar. Dalam memberikan asuhan kebidanan, bidan dapat dibantu dan didukung oleh suami, anggota keluarga ataupun sahabat ibu. Usaha yang dilakukan bidan agar ibu tetap tenang dan santai selama proses persalinan berlangsung adalah dengan membiarkan ibu untuk mendengarkan musik, membimbing ibu untuk mengeluarkan suara saat merasakan kontraksi, serta visualisasi dan pemusatan perhatian.

Kontak fisik yang dilakukan pemberi asuhan/ bidan dan pendamping persalinan memberi pengaruh besar bagi ibu. Kontak fisik berupa sentuhan, belaian maupun pijatan dapat memberikan rasa nyaman, yang pada akhirnya dapat mengurangi rasa nyeri saat persalinan. Bidan mengajak pendamping persalinan untuk terus memegang tangan ibu, terutama saat kontraksi, menggosok punggung dan pinggang, menyeka wajahnya, mengelus rambutnya atau mungkin dengan mendekapnya.

 D.8. Penjahitan Perineum (jika Diperlukan)

Proses kelahiran bayi dan placenta dapat menyebabkan berubahnya bentuk jalan lahir, terutama adalah perineum. Pada ibu yang memiliki perineum yang tidak elastis, maka robekan perineum seringkali terjadi. Robekan perineum yang tidak diperbaiki, akan mempengaruhi fungsi dan estetika. Oleh karena itu, penjahitan perineum merupakan salah satu kebutuhan fisiologis ibu bersalin. Dalam melakukan penjahitan perineum, bidan perlu memperhatikan prinsip sterilitas dan asuhan sayang ibu. Berikanlah selalu anastesi sebelum dilakukan penjahitan. Perhatikan juga posisi bidan saat melakukan penjahitan perineum. Posisikan badan ibu dengan posisi litotomi/dorsal recumbent, tepat berada di depan bidan. Hindari posisi bidan yang berada di sisi ibu saat menjahit, karena hal ini dapat mengganggu kelancaran dan kenyamanan tindakan.

D.9. Kebutuhan akan Proses Persalinan yang Terstandar

Mendapatkan pelayanan asuhan kebidanan persalinan yang terstandar merupakan hak setiap ibu. Hal ini merupakan salah satu kebutuhan fisiologis ibu bersalin, karena dengan pertolongan persalinan yang terstandar dapat meningkatkan proses persalinan yang alami/normal.

Hal yang perlu disiapkan bidan dalam memberikan pertolongan persalinan terstandar dimulai dari penerapan upaya pencegahan infeksi. Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan dengan menggunakan sabun dan air mengalir dapat mengurangi risiko penularan infeksi pada ibu maupun bayi. Dilanjutkan dengan penggunaan APD (alat perlindungan diri) yang telah disepakati. Tempat persalinan perlu disiapkan dengan baik dan sesuai standar, dilengkapi dengan alat dan bahan yang telah direkomendasikan Kemenkes dan IBI. Ruang persalinan harus memiliki sistim pencahayaan yang cukup dan sirkulasi udara yang baik.

Dalam melakukan pertolongan persalinan, bidan sebaiknya tetap menerapkan APN (asuhan persalinan normal) pada setiap kasus yang dihadapi ibu. Lakukan penapisan awal sebelum melakukan APN agar asuhan yang diberikan sesuai. Segera lakukan rujukan apabila ditemukan ketidaknormalan.

 Rangkuman

Kebutuhan fisiologis ibu bersalin merupakan suatu kebutuhan dasar pada ibu bersalin yang harus dipenuhi agar proses persalinan dapat berjalan dengan lancar dan fisiologis. Kebutuhan dasar ibu bersalin yang harus diperhatikan bidan untuk dipenuhi yaitu: kebutuhan oksigen, cairan dan nutrisi, eliminasi, hygiene (kebersihan personal), istirahat, posisi dan ambulasi, pengurangan rasa nyeri, penjahitan perineum (jika diperlukan), serta kebutuhan akan pertolongan persalinan yang terstandar. Pemenuhan kebutuhan dasar ini berbeda-beda, tergantung pada tahapan persalinan, kala I, II, III atau IV.

Pada kala I, kebutuhan dasar fisiologis yang harus diperhatikan bidan adalah kebutuhan oksigen, cairan dan nutrisi, eliminasi, personal hygiene terutama vulva hygiene, istirahat, posisi dan ambulasi, dan pengurangan rasa nyeri. Pemenuhan kebutuhan ini bertujuan untuk mendukung proses persalinan kala I yang aman dan lancar, serta mendukung proses persalinan kala II.

Selama kala II persalinan, bidan harus tetap membantu dan memfasilitasi pemenuhan kebutuhan fisiologis pada ibu bersalin meliputi kebutuhan oksigen, cairan, eliminasi (apabila tidak memungkinkan dapat dilakukan kateterisasi), istirahat, posisi, dan pertolongan persalinan yang terstandar.

Kebutuhan fisiologis pada kala III yang harus dipenuhi diantaranya: kebutuhan oksigen, cairan dan nutrisi, eliminasi, dan kebutuhan akan pertolongan persalinan yang terstandar. Sedangkan pada kala IV, berupa kebutuhan oksigen, cairan dan nutrisi, eliminasi, hygiene (kebersihan personal), istirahat, dan penjahitan perineum (jika diperlukan).

Anonim. 2013. http://id.wikipedia.org/wiki/Gula_darah: Glukosa Darah. Diakses pada Rabu, 3 Juli 2013, 10.15.

Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien. Salemba Medika, Jakarta.

Azlin, Emil. 2011. Seri Pediatri, Vol.13, No.3, Oktober 2011: Hubungan antara Skor Apgar dengan Kadar Glukosa Drah pada BBL. Departeman Ilmu Kesehatan Anak, FK USU/RSUP H.Adam Malik: Medan.

Azwar, Azrul. 2002. Asuhan Persalinan Normal. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Bobak, Lowdermilk, Jensen (Alih bahasa: Wijayarini, Anugerah). 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas, edisi 4. EGC, Jakarta.

Chapman, Vicky. 2006. Asuhan Kebidanan Persalinan dan Kelahiran. EGC, Jakarta.

Depkes RI. 2001. Catatan Perkembangan dalam Praktik Kebidanan. Depkes RI, Jakarta.

Draft. 2001. Pelatihan Pelayanan Kebidanan. Jakarta.

Fraser, Cooper (Alih bahasa: Rahayu, et.al.). 2009. Myles, Buku Ajar Bidan, edisi 14. EGC, Jakarta.

Hidayat, A. aziz. 2008. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia: Aplikasi Konsep dan Proses Keperawatan. Salemba Medika, Jakarta.

JNPK-KR. 2008. Asuhan Persalinan Normal. JNPK-KR Depkes RI, Jakarta.

Leksana, Ery. 2011. CDK 185/Vol.38 no.4/Mei-Juni 2011: Mengatasi Nyeri Persalinan. SMF/Bagian Anestesi dan Terapi Intensif RSUP dr. Kariadi/FK Undip, Semarang.

Mander, Rosemary. 2004. Nyeri Persalinan. EGC, Jakarta.

Mean. 2003. Video Pembelajaran : Proses Kelahiran dan Kekuatan Alami Melalui Pelepasan Hormone dan Posisi Melahirkan, Disampaikan pada seminar Frisian Flag-IBI di Jakarta.

Nolan, Mary. 2004. Kehamilan dan Melahirkan. Arcan, Jakarta.

Pusdiknakes. 2003. Asuhan Intrapartum. Jakarta.

Simkin, Ancheta. 2005. Buku Saku Persalinan. EGC, Jakarta.

Sulistyawati, Ari. 2010. Asuhan Kebidanan Pada Ibu Bersalin. Salemba Medika, Jakarta.

Sumarah, Widyastuti, Wiyati. 2008. Perawatan Ibu Bersalin (Asuhan Kebidanan pada Ibu Bersalin). Fitramaya, Yogyakarta.

Varney, Helen, et.al. 2002. Buku Saku Bidan. EGC, Jakarta.

Asuhan Kala II Persalinan

Oleh: Gita Kostania

Kala 2 persalinan merupakan tahapan persalinan dimana janin dilahirkan (dimulai dari dilatasi cerviks lengkap dan berakhir dengan kelahiran bayi).
Hasil temuan tanda dan gejala kala 2 didapatkan dari hasil pemeriksaan subjektif dan objektif.
Tanda subjektif kala 2 –> muncul keringat tiba-tiba di bibir atas, muntah, ekstrimitas gemetar, semakin gelisah (ada pernyataan “Saya tidak tahan lagi”), adanya usaha mengedan yang involunter (ibu merasa ingin meneran bersamaan dengan kontraksi), dan ibu merasakan adanya peningkatan tekanan pada rectum dan atau vaginanya.
Tanda objektif kala 2 –> kala 2 dipastikan dengan pemeriksaan dalam dengan hasil pembukaan cerviks telah lengkap (cerviks tidak teraba), dan atau terlihatnya kepala janin melalui introitus vagina. Tanda yang lain : perineum menonjol, vulva-vagina dan sfingter ani membuka, dan meningkatnya pengeluaran lendir bercampur darah.
Kala 2 persalinan terdiri dari 3 fase, fase-fase ini ditandai dengan perilaku verbal dan non verbal ibu, kondisi aktivitas uterus, keinginan untuk mengedan, dan penurunan janin.
Fase pertama –> dimulai ketika ibu menyatakan bahwa ia ingin mengedan biasanya pada puncak kontraksi, ibu mungkin mengeluhkan peningkatan nyeri, tetapi diantara waktu kontraksi ia tenang dan seringkali memejamkan mata.
Fase kedua –> ibu semakin ingin mengedan dan seringkali mengubah posisi untuk mencari posisi mengedan yang lebih nyaman, usaha mengedan menjadi lebih ritmik, dan ibu seringkali memberi tahu saat awal kontraksi dan semakin bersuara sewaktu mengedan.
Fase ketiga –> bagian presentasi sudah berada di perineum dan usaha mengedan menjadi paling efektif untuk melahirkan, ibu akan lebih banyak mengungkapkan nyeri yang dirasakan secara verbal dengan menjerit atau bertindak di luar kendali. (Ibu perlu didorong untuk memperhatikan tubuhnya seiring ia masuk ke kala 2 persalinan).

Gambar 1. Proses Persalinan Kala II

1delivery

Asuhan Kebidanan pada Ibu Bersalin Kala 2 

Asuhan keseluruhan yang diperlukan selama kala 2:

  1. Meningkatkan perasaan aman pada ibu/klien, dengan memberikan dukungan dan memupuk rasa kepercayaan dan keyakinan pada diri ibu bahwa dia mampu untuk melahirkan
  2. Membimbing pernafasan yang adekuat
  3. Membantu posisi meneran yang sesuai dengan pilihan ibu
  4. Meningkatkan peran serta keluarga, menghargai anggota keluarga atau teman yang mendampingi
  5. Melakukan tindakan-tindakan yang membuat nyaman, seperti mengusap dahi dan memijat pinggang (libatkan keluarga)
  6. Memperhatikan masukan nutrisi dan cairan ibu (dengan memberi makan dan minum yang cukup)
  7. Melaksanakan prinsip pencegahan infeksi dengan benar
  8. Mengusahakan kandung kencing kosong dengan cara membantu dan memacu ibu mengosongkan kandung kemih secara teratur.

Pemantauan terhadap kesejahteraan ibu :

  1. Mengevaluasi kontraksi uterus/his (frekuensi, durasi, intensitas), dan kaitannya dengan kemajuan persalinan
  2. Mengevaluasi keadaan kandung kemih (anamnesis dan palpasi)
  3. Mengevaluasi upaya meneran ibu
  4. Pengeluaran pervagina, dan penilaian kemajuan persalinan (effacement, dilatasi, penurunan kepala), dan warna air ketuban (warna, bau, volume).
  5. Pemeriksaan nadi ibu setiap 30 menit (frekuensi, irama, intensitas).

Pemantauan kesejahteraan janin

  1. Denyut jantung janin, setiap sesesai meneran/mengejan (kira-kira setiap 5 menit) à durasi, intensitas, ritme.
  2. Presentasi, sikap, dan putar paksi
  3. Mengobservasi keadaan kepala janin (moulase, caput).

Referensi:
Fraser, Cooper (Alih bahasa: Rahayu, et.al.). 2009. Myles, Buku Ajar Bidan, edisi 14. EGC, Jakarta.

JNPK-KR. 2008. Asuhan Persalinan Normal. JNPK-KR Depkes RI, Jakarta.
Mean. 2003. Video Pembelajaran : Proses Kelahiran dan Kekuatan Alami Melalui Pelepasan Hormone dan Posisi Melahirkan, Disampaikan pada seminar Frisian Flag-IBI di Jakarta.
Simkin, Ancheta. 2005. Buku Saku Persalinan. EGC, Jakarta.
Sumarah, Widyastuti, Wiyati. 2008. Perawatan Ibu Bersalin (Asuhan Kebidanan pada Ibu Bersalin). Fitramaya, Yogyakarta.

Posisi Persalinan Kala I – Posisi Meneran Kala II

Oleh: Gita Kostania

Persalinan merupakan suatu peristiwa fisiologis tanpa disadari dan terus berlangsung/progresif. Bidan dapat membantu ibu agar tetap tenang dan rileks, maka bidan sebaiknya tidak mengatur posisi meneran ibu. Bidan harus memfasilitasi ibu dalam memilih sendiri posisi meneran dan menjelaskan alternatif-alternatif posisi meneran bila posisi yang dipilih ibu tidak efektif.

Bidan harus memahami posisi-posisi melahirkan, bertujuan untuk menjaga agar proses kelahiran bayi dapat berjalan senormal mungkin, menghindari intervensi –> meningkatkan persalinan normal (semakin normal proses kelahiran, semakin aman kelahiran bayi itu sendiri).

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan posisi melahirkan :

  1. Klien/ibu bebas memilih –> dapat meningkatkan kepuasan, menimbulkan perasaan sejahtera secara emosional, dan ibu dapat mengendalikan persalinannya secara alamiah.
  2. Peran bidan adalah membantu/memfasilitasi ibu agar merasa nyaman.
  3. Secara umum, pilihan posisi melahirkan secara alami/naluri ‘bukan posisi berbaring’.
  4. Sejarah –> posisi berbaring diciptakan agar penolong lebih nyaman dalam bekerja. Sedangkan posisi tegak, merupakan cara yang umum digunakan dari sejarah penciptaan manusia sampai abad ke-18.

Macam-macam posisi meneran diantaranya :

  1. Duduk atau setengah duduk –> posisi ini memudahkan bidan dalam membantu kelahiran kepala janin dan memperhatikan keadaan perineum.
  2. Merangkak –> posisi merangkak sangat cocok untuk persalinan dengan rasa sakit pada punggung, mempermudah janin dalam melakukan rotasi serta peregangan pada perineum berkurang.
  3. Jongkok atau berdiri à posisi jongkok atau berdiri memudahkan penurunan kepala janin, memperluas panggul sebesar 28% lebih besar pada pintu bawah panggul, dan memperkuat dorongan meneran. Namun posisi ini beresiko memperbesar terjadinya laserasi (perlukaan) jalan lahir.
  4. Berbaring miring –> posisi berbaring miring dapat mengurangi penekanan pada vena cava inverior, sehingga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya hipoksia janin karena suply oksigen tidak terganggu, dapat memberi suasana rileks bagi ibu yang mengalami kecapekan, dan dapat mencegah terjadinya robekan jalan lahir.
  5. Hindari posisi telentang (dorsal recumbent) –> posisi ini dapat mengakibatkan : hipotensi (beresiko terjadinya syok dan berkurangnya suplai oksigen dalam sirkulasi uteroplacenter, sehingga mengakibatkan hipoksia bagi janin), rasa nyeri yang bertambah, kemajuan persalinan bertambah lama, ibu mangalami gangguan untuk bernafas, buang air kecil terganggu, mobilisasi ibu kurang bebas, ibu kurang semangat, dan dapat mengakibatkan kerusakan pada syaraf kaki dan punggung.

Berdasarkan posisi meneran di atas, maka secara umum posisi melahirkan dibagi menjadi 2, yaitu posisi tegak lurus dan posisi berbaring.

Secara anatomi, posisi tegak lurus (berdiri, jongkok, duduk) merupakan posisi yang paling sesuai untuk melahirkan, kerena sumbu panggul dan posisi janin berada pada arah gravitasi. Adapun keuntungan dari posisi tegak lurus adalah :

a.  Kekuatan daya tarik –> meningkatkan efektivitas kontraksi dan tekanan pada leher rahim, dan mengurangi lamanya proses persalinan.

Pada Kala 1

Kontraksi –> dengan berdiri, uterus terangkat berdiri pada sumbu aksis pintu masuk panggul dan kepala mendorong cerviks, sehingga intensitas kontraksi meningkat.

Pada posisi tegak tidak ada hambatan dari gerakan uterus.

Sedangkan pada posisi berbaring –> otot uterus lebih banyak bekerja dan proses persalinan berlangsung lebih lama.

Pada Kala 2

Posisi tegak lurus mengakibatkan kepala menekan dengan kekuatan yang lebih besar, sehingga keinginan untuk mendorong lebih kuat dan mempersingkat kala 2.

Posisi tegak lurus dengan berjongkok, mengakibatkan lebih banyak ruang di sekitar otot dasar panggul untuk menarik syaraf penerima dasar panggul yang ditekan, sehingga kadar oksitosin meningkat.

Posisi tegak lurus pada kala 2 dapat mendorong janin sesuai dengan anatomi dasar panggul, sehingga mengurangi hambatan dalam meneran.

Sedangkan pada posisi berbaring, leher rahim menekuk ke atas, sehingga meningkatkan hambatan dalam meneran.

b.  Meningkatkan dimensi panggul

Perubahan hormone kehamilan –> menjadikan struktur panggul dinamis/fleksibel

Pergantian posisi –> meningkatkan derajat mobilitas panggul

Posisi jongkok –> sudut arkus pubis melebar, mengakibatkan pintu atas panggul sedikit melebar, sehingga memudahkan rotasi kepala janin.

Sendi sakroiliaka –> meningkatkan fleksibilitas sacrum (bergerak ke belakang)

Pintu bawah panggul menjadi lentur maksimum

Pada posisi tegak, sacrum bergerak ke dapan, mangakibatkan tulang ekor tertarik ke belakang

Sedangkan pada posisi berbaring, tulang ekor tidak bergerak ke belakang tetapi ke depan (tekanan yang berlawanan).

c.   Gambaran jantung janin abnormal lebih sedikit dengan kecilnya tekanan pada pembuluh vena cava inferior

Pada posisi berbaring, berat uterus/ cairan amnion/ janin mengakibatkan adanya tekanan pada vena cava inferior, dan dapat menurunkan tekanan darah ibu. Serta perbaikan aliran darah berkurang setelah adanya kontraksi.

Pada posisi tegak, aliran darah tidak terganggu, sehingga aliran oksigen ke janin lebih baik.

d.  Kesejahteraan secara psikologis

Pada posisi berbaring –> ibu/klien menjadi lebih pasif dan menjadi kurang kooperatif, ibu lebih banyak mengeluarkan tenaga pada posisi ini.

Pada posisi tegak –> ibu/klien secara fisik menjadi lebih aktif, meneran lebih alami, menjadi lebih fleksibel untuk segera dilakukan ‘bounding’ (setelah bayi lahir dapat langsung dilihat, dipegang ibu, dan disusui).

Adapun kerugian dari persalinan dengan posisi tegak adalah :

1. Meningkatkan kehilangan darah

Gaya gravitasi mengakibatkan keluarnya darah sekaligus dari jalan lahir setelah kelahiran janin, dan kontraksi meningkat sehingga placenta segera lahir.

Meningkatkan terjadinya odema vulva à dapat dicegah dengan mengganti-ganti posisi.

2. Meningkatkan terjadinya perlukaan/laserasi pada jalan lahir

Odema vulva –> dapat dicegah dengan mengganti posisi (darah mengalir ke bagian tubuh yang lebih rendah).

Luka kecil pada labia meningkat, tetapi luka akan cepat sembuh.

Berat janin mendorong ke arah simfisis, mengakibatkan tekanan pada perineum meningkat, sehingga resiko rupture perineum meningkat.

PP1a

 

PP1b

 

PP1c

 

PP2C

Referensi:

  1. Bobak, Lowdermilk, Jensen (Alih bahasa: Wijayarini, Anugerah). 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas, edisi 4. EGC, Jakarta.
  2. Fraser, Cooper (Alih bahasa: Rahayu, et.al.). 2009. Myles, Buku Ajar Bidan, edisi 14. EGC, Jakarta.
  3. JNPK-KR. 2008. Asuhan Persalinan Normal. JNPK-KR Depkes RI, Jakarta.
  4. Mean. 2003. Video Pembelajaran : Proses Kelahiran dan Kekuatan Alami Melalui Pelepasan Hormone dan Posisi Melahirkan, Disampaikan pada seminar Frisian Flag-IBI di Jakarta.
  5. Simkin, Ancheta. 2005. Buku Saku Persalinan. EGC, Jakarta.
  6. Sumarah, Widyastuti, Wiyati. 2008. Perawatan Ibu Bersalin (Asuhan Kebidanan pada Ibu Bersalin). Fitramaya, Yogyakarta.

Temuan Keadaan Normal dan Abnormal dari Partograf

Oleh: Gita Kostania

Partograf merupakan alat bantu yang bertujuan untuk memantau kamajuan kala satu persalinan dan suatu informasi untuk membuat keputusan klinik. Partograf berisikan catatan hasil pemeriksaan/observasi meliputi kesejahteraan janin (DJJ, air ketuban, penyusupan kepala), dan kesejahteraan ibu/kemajuan persalinan (pembukaan, penurunan kepala, kontraksi, nadi, tekanan darah, suhu, dan pemeriksaan urin).

Par1

Par2

Partograf juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi dini adanya distosia persalinan, yaitu persalinan yang panjang, sulit atau abnormal yang timbul akibat berbagai kondisi yang berhubungan dengan lima faktor persalinan (setiap keadaan berikut dapat menyebabkan distosia) :

  1. Persalinan disfungsional –> akibat kontraksi uterus yang tidak efektif dan atau upaya mengedan ibu (power). Pada pertograf dilihat di kolom kontraksi.
  2. Perubahan struktur pelvis dan atau jalan lahir (passage). Indikator pada partograf dapat dilihat dari pembukaan yang melewati garis waspada dan penurunan kepala janin.
  3. Sebab-sebab pada janin –> kelainan presentasi/posisi, bayi besar, dan jumlah janin (passengers).
  4. Indikator lain pada partograf ditunjukkan dengan DJJ <110 atau >160 kali per menit.
  5. Posisi ibu selama persalinan dan melahirkan.
  6. Respon psikologis ibu terhadap persalinan yang berhubungan dengan pengalaman, persiapan, budaya dan warisannya, serta sistim pendukung.

Persalinan Disfungsional

Persalinan disfungsional dijelaskan sebagai kontraksi uterus tidak normal yang menghambat kemajuan dilatasi cerviks normal, kemajuan pendataran cerviks dan kemajuan penurunan kepala.

Pada kala dua, “persalinan disfungsional” yaitu suatu kontraksi uterus tidak adekuat untuk mendorong janin keluar rahim (upaya mengejan).

Upaya mengejan menjadi lebih berat disebabkan oleh : penggunaan analgesik dalam jumlah besar, pemberian anastesi, ibu keletihan, hidrasi yang tidak adekuat, dan posisi ibu.

Par3

Par4

Perubahan Struktur Pelvis

Distosia karena kelainan jalan lahir (passage) terutama pelvis, dapat menyertai kontraktur diameter pelvis yang mengurangi kapasitas tulang pelvis (termasuk pintu atas panggul, pintu bawah panggul, dan atau setiap kombinasi tulang-tulang tersebut.

Kelainan karena pelvis mengakibatkan kala dua lama –> kelainan anatomi dan ketidaksesuaian ukuran pelvis dan janin, dapat mengakibatkan kelainan presentasi, dan menghambat penurunan janin.

Par5

Sebab pada Janin

Distosia yang berasal dari janin bisa disebabkan oleh anomali (kelainan anatomi janin), ukuran janin yang berlebihan, malpresentasi, malposisi, dan kehamilan kembar.

Komplikasi yang berhubungan dengan distosia yang berasal dari janin meliputi : risiko asfiksia neonatal, cidera atau fraktur pada janin, dan laserasi vagina pada ibu.

Faktor janin yang mengalami kelainan, dapat dilahirkan per vaginam, namun insiden kelahiran dengan alat (forcep rendah dan ekstraksi vacuum) dan operasi sesaria meningkat.

Posisi Ibu

Hubungan fungsional antara kontraksi uterus, janin, dan panggul ibu berubah akibat posisi ibu.

Pangaturan posisi dapat memberi keuntungan dan atau kerugian mekanis terhadap mekanisme persalinan/kelahiran janin dengan mengubah efek grafitasi dan hubungan antara bagian-bagian tubuh yang penting.

Terhambatnya gerakan maternal/ibu dan pembatasan posisi pada kala dua persalinan terhadap posisi dorsal recumbent dan litotomi, dapat menghambat kelancaran kelahiran janin à meningkatkan distosia dan menyebabkan kebutuhan untuk melakukan pertolongan persalinan dengan bantuan (forcep rendah dan ekstraksi vacuum) dan operasi sesaria meningkat.

Respon Psikologis

Ibu bersalin dalam tahapan kala dua persalinan yang mengalami stress (cemas, takut dan gelisah), dapat mengakibatkan pelepasan hormone yang berhubungan dengan stress meningkat (ß-endorfin, hormone adrenokortikotropik/ACTH, kortisol dan epinefrin), sehingga dapat menyebabkan distosia pada kala dua.

Sumber stress dapat bervariasi pada tiap individu, tetapi faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian distosia/kala dua memanjang adalah nyeri dan tidak adanya pendukung.

Tirah baring dan pembatasan gerak ibu dapat menambah stress psikologis yang berpotensi menambah stress fisiologis akibat imobilisasi pada ibu bersalin yang tidak mendapat pengobatan.

Referensi:

  1. Bobak, Lowdermilk, Jensen (Alih bahasa: Wijayarini, Anugerah). 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas, edisi 4. EGC, Jakarta.
  2. Cunningham, et.al. 2010. E-book Williams Obstetrics, edisi 23. The Mc Graw-Hill Companies, USA.
  3. Fraser, Cooper (Alih bahasa: Rahayu, et.al.). 2009. Myles, Buku Ajar Bidan, edisi 14. EGC, Jakarta.
  4. JNPK-KR. 2008. Asuhan Persalinan Normal. JNPK-KR Depkes RI, Jakarta.