Mengenal Tunalaras

Oleh: Gita Kostania

Mungkin banyak yang masih awam dengan istilah ‘tunalaras’, termasuk saya. Nah, kenapa saya tertarik untuk memposting bahasan ini ?! Hal ini berawal dari permintaan ibu untuk mencari tahu tentang SLB Negeri Semarang setelah menonton acara Kick Andy di TV tentang pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), dan Saya pun mencari tahu tentang SLB Negeri Semarang via om Google…… ^_^. Setelah saya buka web SLB Negeri Semarang, saya jadi tahu jenis-jenis pendidikan untuk ABK. Ternyata, selain tuna netra, tuna rungu, dan tuna wicara masih ada ‘tuna-tuna’ yang lain….. heheeeee…… bukan ikan tuna tapi ya……. Pendidikan ABK selain ‘tuna-tuna’ tersebut, ada juga tunagrahita (gangguan intelektual), tunadaksa (kelainan/cacat tubuh), tunalaras (yang akan kita bahas), dan tunaganda (kelainan gabungan), serta termasuk autism (ADHD). Mungkin ada di sekitar kita yang ternyata memang mengalami tunalaras, namun tidak mengetahuinya karena kurangnya pengetahuan dan kurangnya kesadaran akan hal ini. So, mari kita bahas.
Pengertian tunalaras menurut om Wiki (wikipedia.org) adalah individu yang mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol sosial. Anak ini bertingkah laku menyimpang dari norma-norma dan adat yang berlaku di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Secara umum penyebabnya dapat diuraikan menjadi:
1. Kondisi keluarga yang tidak harmonis.
2. Kurangnya kasih sayang orang tua karena kehadirannya tidak diharapkan.
3. Kemampuan sosial dan ekonomi rendah.
4. Adanya konflik budaya yaitu adanya perbedaan pandangan hidup antara keadaan sekolah dan kebiasaan keluarga.
5. Berkecerdasan rendah atau kurang dapat mengikuti tuntutan sekolah.
6. Adanya pengaruh negatif dari geng – geng atau kelompok.
7. Adanya gangguan atau kerusakan pada otak/sistem syaraf akibat minuman keras atau obat-obatan.
8. Memiliki gangguan kejiwaan bawaan.
Untuk mengenali apakah anak/seseorang (karena dapat berlanjut dan menetap sampai dewasa), dapat diidentifikasi melalui:
1. Tes psikologi (psikotest) untuk mengetahui kematangan sosial dan gangguan emosi.
2. Tes sosiometri untuk mengetahui suka tidaknya seseorang.
3. Konsultasi ke biro konsultasi psikolog.
4. Konsultasi ke psikiater.
5. Membandingkan dengan tingkah laku anak/orang pada umumnya.
Poin ke-lima di atas adalah langkah awal untuk mengidentifikasinya, dengan melihat ciri-cirinya, yaitu:
1. Adanya gangguan emosi dan gangguan sosial, yang ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a. Tidak mau bergaul dan menyendiri.
b. Melarikan diri dari tanggung jawab.
c. Berdusta, menipu, mencuri, menyakiti orang lain atau sebalikanya, ingin dipuji, tak pernah menyulitkan orang lain, penakut dan kurang percaya diri.
d. Tidak mempunyai inisiatif dan tanggung jawab, kurangnya keberanian dan sangat bergantung pada orang lain.
e. Agresif terhadap diri sendiri, curiga, acuh tak acuh, banyak mengkayal.
f. Memperlihatkan perbuatan gugup, misalnya: menggigit kuku, komat-kamit dan sebagainya.
2. Rasa rendah diri yang berlebih ditandai dengan ciri-ciri:
a. Terlalu memepersoalkan diri sendiri, sering minta maaf, takut tampil di muka umum dan takut bicara.
b. Mengeluh dengan nada nasib malang dan segan melakukan hal – hal baru atau yang dapat mengungkap kekurangannya.
c. Selalu ingin sempurna, tidak puas dengan apa yang diperbuat.
d. Bersikap introvet (lebih banyak mengarahkan perhatian pada diri sendiri/bersikap sangat tertutup).
3. Merendahkan harga diri, sitandai dengan ciri-ciri:
a. Bernada murung, cepat merasa tersinggung.
b. Merasa tidak enak, sakit buatan
c. Berpura-pura lebih dari orang lain, misalnya memonjolkan diri, berbicara lantang dann merendahkan orang lain.
d. Membuat kompensasi.
e. Melakukan perbuatan jahat.
Membaca ciri-ciri di atas, terutama poin 1-e dan 2-c, saya pun jadi teringat tentang obsesif-kompulsif. Apa bedanya dengan obsesif kompulsif ya…. ?! Mari kita cek dulu definisi gangguan obsesif-kompulsif.
Menurut kamuskesehatan.com, obsesif-kompulsif (obsessive-compulsive disorder)adalah gangguan kecemasan yang ditandai dengan pikiran, impuls, gambaran atau gagasan yang berulang dan mengganggu (obsesi) disertai dengan upaya untuk menekan pikiran-pikiran tersebut melalui perilaku fisik atau mental tertentu yang irasional dan ritualistik (kompulsi). Obsesi dan kompulsi menghabiskan sejumlah besar waktu pasien (satu jam atau lebih setiap hari) dan biasanya menyebabkan tekanan emosional yang signifikan dan menyulitkan hubungan dengan orang lain.
Ternyata tunalaras lebih kompleks ‘sekali’ daripada obsesif-kompulsif. Obsesif-kompulsif hanya terkait dengan keinginan yang irrasional dan ritualistic, namun tunalaras terkait juga dengan gangguan emosional dan sosial yang kronis. Dengan demikian, seorang yang mengalami tunalaras juga kemungkinan mengalami gangguan obsesif-kompulsif.
Bagaimanakah bentuk layanan pendidikan bagi anak tunalaras di sekolah untuk ABK ? Layanan pendidikan dapat berupa:
1. Penyelenggaraan bimbingan dan penyuluhan di sekolah reguler kelas khusus, bila anak tunalaras perlu belajar terpisah dari teman sekelasnya.
2. SLB-E (untuk tunalaras) tanpa asrama.
3. SLB-E dengan asrama, bagi anak yang tingkat kenakalannya berat.
4. Terapi perilaku sosial.
5. Terapi kelompok.
Bagaimana jika kelainan tunalaras diketahui setelah dewasa ? Hal ini tentunya kita konsultasikan pada psikolog atau psikiater untuk penanganan masalah ini. Demikian, semoga tulisan ini dapat memberi wawasan baru bagi kita.
###

Sumber:
http://slbn-smg.sch.id/index.php
http://id.wikipedia.org/wiki/Tunalaras
http://kamuskesehatan.com/arti/gangguan-obsesif-kompulsif/