Preeklamsi

Oleh: Gita Kostania

Preeklamsi merupakan salah satu gangguan hipertensi selama kehamilan, yang mengacu pada peningkatan tekanan darah maternal disertai resiko yang berhubungan dengan kesehatan ibu dan janin. Gangguan hipertensi selama kehamilan meliputi: preeklamsi, eklamsi (kejang), hipertensi kronis (sudah ada sebelum hamil), hipertensi kronis dengan preeklamsi, dan hipertensi sementara. Preeklamsi, eklamsi dan hipertensi sementara merupakan penyakit hipertensi dalam kehamilan yang sering disebut Pregnancy Induced Hypertension (PIH). Pada bahasan ini, hanya akan dibahas mengenai preeklamsi.

Preeklamsi diklasifikasikan menjadi preeklamsi ringan dan berat. Pada kasus preklamsi berat, dapat terjadi eklamsi (kejang) yaitu suatu kondisi konvulsi (kejang) atau terjadinya koma, disertai tanda dan gejala preeklamsi. Konvulsi dan koma dapat terjadi tanpa didahului gangguan neurologis.

Kejang

Gambar 1: Gambaran terjadinya Konvulsi

Perdarahan otak primi-eklamsi

Gambar 2: Gambaran Terjadinya Perdarahan Otak pada Primigravida

yang Mengalami Eklamsi

Preeklamsi adalah sekumpulan gejala yang secara spesifik hanya muncul selama kehamilan dengan usia lebih dari 20 minggu pada ibu yang sebelumnya memiliki tekanan darah normal. Preeklamsi merupakan suatu penyakit vasoplastik yang melibatkan banyak sistem, ditandai dengan hemokonsentrasi (edema), hipertensi dan proteinuria (trias preeklamsi). Sebanyak 20% kasus eklamsi, tidak mengalami proteinuria yang berarti sebelum serangan kejang yang pertama, untuk itu temuan adanya hipertensi dan edema sudah cukup bermakna untuk mengantisipasi adanya eklamsi.

Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik mencapai atau melebihi 140/90 mmHg. Dapat juga diartikan peningkatan sistolik sebesar 30 mmHg dan diastolik sebesar 15 mmHg dari tekanan darah dasar ibu. Definisi kedua didasarkan pada adanya variasi tekanan darah berdasarkan usia, suku bangsa, keadaan fisiologis, kebiasaan makan dan hereditas.

Proteinuria didefinisikan sebagai adanya konsentrasi protein dalam urin sebesar 0,1g/L (>2+ dengan cara dipstik), pada spesimen urin 24 jam proteinuria didefinisikan sebagai suatu konsentrasi protein 0,3 g/jam atau ≥0,03 g/L (≥1+ dengan cara dipstik). Sedangkan edema didefinisikan sebagai akumulasi cairan interstisial umum setelah 12 jam tirah baring atau peningkatan berat lebih dari 2 kg per minggu. Pada keadaan terjadinya hipertensi dan proteinuria, edema harus dievaluasi sebagai refleksio edema organ akhir dan kemungkinan hipoksia organ.

Odema

Gambar 3: Gambaran Terjadinya Odema

Piting edema

Gambar 4. Pengkajian Piting Edema

Penyebab terjadinya preklamsi belum diketahui secara pasti, namun kondisi-kondisi berikut diperkirakan berhubungan dengan preklamsi, yaitu: nullipara, penyakit trofoblastik, kehamilan gemeli (tanpa memperhatikan paritas), riwayat penyakit (hipertensi kronis, ginjal kronis, DM pra kehamilan), riwayat preeklamsi-eklamsi dalam keluarga, dan riwayat preklamsi sebelumnya.

Preeklamsi ringan ditandai dengan: hipertensi selama kehamilan tanpa proteinuria, disertai nyeri kepala ringan, gangguan penglihatan, nyeri pada abdomen, nilai trombosit rendah dan kadar enzim ginjal abnormal. Sedangkan preeklamsi berat ditandai dengan:

  1. Tekanan darah ≥160/110 mmHg
  2. Proteinuria >0,2 g/24 jam (dengan dipstik/reagen 2+ atau 3+), muncul pertama selama kehamilan dan menurun setelah persalinan.
  3. Peningkatan nilai serum kreatinin (>1,2 mg/dL, kecuali jika peningkatan telah diketahui sebelumnya).
  4. Jumlah trombosit <100.000 sel/mm3.
  5. Peningkatan aktivitas enzim hati (alanin aminotransferase, aspirat aminotransferase, dan atau keduanya).
  6. Gejala gangguan syaraf: nyeri kepala menetap, gangguan penglihatan.
  7. Nyeri ulu hati yang menetap.
  8. Oliguria <400 mL/24 jam.

Peran bidan dalam hubungannya dengan gangguan hipertensi selama kehamilan terletak pada ketelitiannya melakukan pemeriksaan, megidentifikasi dini, dan melakukan konsultasi/berkolaborasi dengan dokter. Oleh karena preeklamsi dapat berdampak sangat serius pada ibu dan janin, maka mempertahankan tingkat kecurigaan yang tinggi dan menghindari asumsi berlebihan bahwa temuan yang diperoleh menunjukkan kondisi yang normal, akan membantu menegakkan diagnosis yang tepat.

Pada kasus preeklamsi ringan, dan muncul dalam kondisi yang tidak terlalu mengkhawatirkan, ibu dapat dirawat di rumah. Hal-hal yang perlu dilakukan: modifikasi pola istirahat, memperbanyak jumlah kunjungan antenatal (periksa TD dan proteinuria, serta gejala lain), dukungan keluarga (bidan memberikan edukasi tentang preeklamsi). Apabila tidak memungkinkan dilakukan perawatan di rumah, maka lakukan perawatan di rumah sakit sampai aterm.

Pada kasus preeklamsi berat, terminasi kehamilan harus dilakukan. Jika belum aterm dan memungkinkan untuk dipertahankan, maka lakukan pengawasan ketat pada ibu dan janin. Evaluasi kesejahteraan janin dilakukan dengan pemeriksaan USG (preklamsi menyebabkan insufisiensi placenta dan uterus yang mengakibatkan janin mengalami hipoksia kronis dan IUGR), pemeriksaan biofisik secara periodik (status janin), pemeriksaan fisik ibu dan laboratorium (pemeriksaan TD secara teratur, pemeriksaan proreinuria, fungsi hati dan ginjal).

Pemberian magnesium sulfat dapat diberikan untuk mencegah terjadinya eklamsi. Keuntungan lainnya adalah meningkatkan aliran darah rahim untuk melindungi janin dan meningkatkan prostasiklin untuk mencekag vasokonstriksi rahim. Dosis awal sebesar 4-6 gram, diberikan selama 15-30 menit, intravena. Diikuti dosis rumatan 2-4 gram/jam. Magnesium sulfat tidak direkomendasikan diberikan intra muskuler, karena kecepatan obat tidak dapat dikontrol, kadarnya hanya adekuat pada satu jam pertama dan menjadi tidak adekuat selama tiga sampai empat jam berikutnya. Pemberian magnesium sulfat dapat mengganggu pelepasan asetil kolin pada sinaps, menurunkan iritabilitas neuromuskuler, menekan konduksi jantung dan menurunkan iritabilitas susunan syaraf pusat. Untuk itu, sebelum dan selama pemberian magnesium sulfat, harus dikaji:

  1. Pengeluaran urin (minimal 30mL/jam atau 120 mL/4 jam, menggunakan kateter).
  2. Refleks patella positif.
  3. Frekuensi pernafasan minimal 16 kali/menit (setiap 15 menit selama pemantauan).

Referensi:

  1. Bobak, Lowdermilk, Jensen (Alih bahasa: Wijayarini, Anugerah). 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas, edisi 4. EGC, Jakarta.
  2. Cunningham, et.al. 2010. E-book Williams Obstetrics, edisi 23. The Mc Graw-Hill Companies, USA.
  3. Fraser, Cooper (Alih bahasa: Rahayu, et.al.). 2009. Myles, Buku Ajar Bidan, edisi 14. EGC, Jakarta.
  4. Mochtar. 2002. Synopsis Obstetri, edisi 2. EGC, Jakarta.
  5. Varney, Kriebs, Gegor. 2002. Buku Ajar Asuhan Kebidanan, Edisi 4, Volume 1. EGC, Jakarta.