KELAS IBU BALITA TENTANG (MP-ASI 6-12 BULAN)

Oleh: Gita Kostania, RD. Rahayu

Artikel ini dipublikasikan pada Jurnal Ilmiah Bidan Vol 3 No 3 (2018) Full Text

Pemenuhan gizi secara tepat, lengkap dan seimbang pada bayi di bawah usia lima tahun (balita) dapat memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak secara keseluruhan. Gizi didalamnya memiliki keterkaitan yang erat dengan kesehatan dan kecerdasan. Oleh sebab itu, gizi menjadi salah satu penentu kualitas sumber daya manusia.  Status gizi yang baik pada balita perlu mendapatkan perhatian lebih. Ketika status gizi balita buruk, dapat menghambat pertumbuhan fisik, mental dan kemampuan berfikir, menyebabkan rentan terhadap gangguan penyakit, bahkan kematian. Permasalahan ini dapat mempengaruhi kualitas generasi penerus suatu bangsa. (Proverawati, 2010)

Setelah melewati fase pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif, yaitu mulai usia enam bulan, orangtua harus menjaga agar nutrisi anak terpenuhi. Hal ini karena ASI sudah tidak dapat memenuhi semua kebutuhan gizi anak, sehingga anak rentan mengalami permasalahan gizi apabila pemberian makanan tambahan tidak dipenuhi dengan baik. Jenis makanan dan cara pemberiannya pun perlu sesuai dengan keadaaan pertumbuhan badan dan perkembangan kecerdasanya. (Moehyi, 2008)

Permasalahan yang terkait dengan pemenuhan gizi balita yang paling umum adalah kurang energi protein. Klasifikasi pada balita meliputi: stunting (tubuh pendek), kurus, dan gizi buruk (Proverawati, 2010). World Health Organisation (WHO) menyatakan bahwa Malnutrisi dapat menyebabkan terjadinya penyakit tidak menular yang berhubungan dengan pengaturan makan. Keadaan gizi yang buruk pada balita juga dapat menyebabkan kematian anak. Sekitar 45 (%) kematian di antara balita terkait dengan kekurangan gizi. Pada tahun 2015, sebanyak 155 juta balita di seluruh dunia mengalami stunting, sementara 52 juta mengalami gizi kurang. Hal ini kebanyakan terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Dilihat dari segi wilayah, lebih dari 70 (%) kasus gizi buruk pada anak didominasi Asia, sedangkan 26 (%) di Afrika dan 4 persen di Amerika Latin serta Karibia. (WHO, 2015)

Masalah gizi di Indonesia mengakibatkan lebih dari 80 (%) kematian anak. Berdasarkan hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) yang dilakukan Kementerian Kesehatan pada tahun 2016, status gizi pada indeks BB/U pada balita 0-59 bulan di Indonesia, menunjukkan persentase gizi buruk sebesar 3,4 (%), gizi kurang sebesar 14,4 (%) dan gizi lebih sebesar 1,5 (%). Kemudian, hasil pengukuran status gizi PSG 2016 dengan indeks BB/U pada balita 0-23 bulan di Indonesia, menunjukkan persentase gizi buruk sebesar 3,1 (%), gizi kurang sebesar 11,8 (%) dan gizi lebih sebesar 1,5 (%). Prevalensi gizi buruk dan gizi kurang di provinsi Jawa Tengah berdasarkan perhitungan status gizi BB/U sebesar 17,6 (%). Sedangkan prevalensi gizi kurang pada balita di kabupaten Klaten sebesar 2,8 (%), dan gizi buruk sebesar 0,1 (%). (Infodatin, 2016).

Faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya kekurangan gizi pada balita adalah faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal diantaranya: ekonomi, pendidikan/ pengetahuan, dan lingkungan (Proverawati, 2010). Faktor internal diantaranya: ketidakmampuan tubuh untuk metabolisasi nutrien, ketidakmampuan untuk mendapat zat gizi yang sesuai dari makanan, percepatan ekskresi zat-zat gizi dari tubuh, dan sakit atau penyakit yang meningkatkan kebutuhan tubuh akan nutiren (Dwijayanti, 2011).

Penyebab dari faktor internal merupakan penyebab secara langsung, dapat diatasi dengan pemberian pengobatan yang sesuai. Penyebab faktor eksternal merupakan faktor tidak langsung, namun memberikan dampak yang signifikan pada keadaan status gizi anak. Pengetahuan orang tua yang terbatas tentang asupan gizi yang baik dapat memicu kesalahan dalam memberi makanan pada anak. Bisa saja orang tua memberikan asupan makanan kepada anak dalam jumlah banyak tetapi tanpa memperhatikan kandungan nutrisi yang ada dalam makanan tersebut. Sehingga faktor pendidikan/ pengetahuan dianggap sebagai faktor yang paling berperan dibanding faktor ekonomi dan lingkungan. (Almatsier, 2009)

Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan berupaya untuk mengatasi masalah gizi pada balita melalui penyelenggaraan program-program kesehatan yang dilaksanakan oleh dinas kesehatan. Pelaksanaan program melalui Puskesmas, dilakukan oleh tenaga kesehatan maupun petugas gizi, dengan dukungan pemerintah setempat dan dibantu oleh kader kesehatan. Program-program tersebut diantaranya: Posyandu, program pelatihan Pemberian Makanan Bayi-Anak (PMBA), dan Kelas Ibu Balita (KIB). (Kemenkes RI, 2016)

Kelas ibu balita merupakan sarana untuk belajar bersama tentang kesehatan balita dalam bentuk tatap muka dalam kelompok, yaitu ibu-ibu yang mempunyai anak berusia antara 0-5 tahun, secara bersama-sama berdiskusi dan saling tukar pendapat serta pengalaman tentang pemenuhan pelayanan kesehatan, gizi, dan stimulasi pertumbuhan dan perkembangan anak dengan dibimbing oleh fasilitator. Sumber belajar menggunakan Buku KIA. Tujuan kelas ibu balita adalah meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku ibu dalam mewujudkan tumbuh kembang balita yang optimal. Pelaksanaan kelas ini dikelompokkan sesuai dengan usia balita: 0-1 tahun, 1-2 tahun, dan 2-5 tahun. (Kemenkes RI, 2011)

Keunggulan program kelas ibu balita dibanding Posyandu dan pelatihan PMBA adalah, bahwa program kelas ibu balita dilaksanakan langsung pada ibu balita, sehingga memungkinkan petugas kesehatan melakukan evaluasi secara langsung tentang keberhasilan program. Ibu dibimbing dan dipantau langsung dalam memenuhi nutrisi pada anaknya. Program dibuat secara terstruktur dan terjadwal, sehingga ibu dapat menyerap semua materi dengan baik. Keberadaan Posyandu adalah sebagai wahana dalam pelaksanaan kelas ibu balita. Program PMBA sebagai pendukung melalui pemberdayaan kader kesehatan. (Kemenkes RI, 2016)

  1. Tingkat pengetahuan ibu tentang MP-ASI usia 6-12 bulan

Hasil penelitian mengenai efektifitas penyelenggaraan kelas ibu balita terhadap pengetahuan dan perilaku ibu tentang MP-ASI usia 6-12 bulan menyatakan bahwa pengetahuan ibu pada kelompok eksperimen (mengikuti kelas ibu balita) mendapatkan hasil (mean) yang lebih tinggi dari kelompok kontrol (tidak mengikuti kelas ibu balita), yaitu 82,22 >69,00. (Kostania, Rahayu; 2017)

Hasil penelitian ini senada dengan penelitian Munthofiah (2008), yang menjelaskan bahwa intervensi pendidikan kesehatan dan gizi pada orang tua atau keluarga yang mempunyai anak balita akan merubah perilaku dari keluarga itu terutama dalam hal pengasuhan dan pemberian makan pada anak sehingga akan peningkatkan status gizi anak balita di keluarga itu. Hal senada diungkapkan juga oleh Suharyono (2010), bahwa pengetahuan yang tinggi serta pengalaman yang dimiliki individu akan mendorong seseorang untuk memiliki perilaku kesehatan yang baik.

Pengetahuan seseorang dapat terbentuk setelah melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu melalui panca indera manusia, diantaranya melalui indera penglihatan dan pendengaran. Adapun salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan adalah pemberian informasi melalui instruksi verbal dan non verbal (Notoatmojo, 2010).

Penyelenggaraan kelas ibu balita merupakan suatu sarana yang efektif dalam meningkatkan pengetahuan ibu balita terkait kesehatan balita. Dalam penyelenggaraannya, fasilitator tidak hanya memberikan informasi secara verbal melalui metode ceramah, namun juga non verbal melalui metode demonstrasi. Ibu balita juga diberikan kesempatan untuk bertukar ilmu pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki, sehingga transfer pengetahuan tidak hanya satu arah namun dua arah. Tukar informasi dua arah ini memungkinkan ibu balita untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih baik.  Menurut Notoatmojo (2010), pengetahuan merupakan domain kognitif yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang.

  1. Perilaku ibu akan pemberian MP-ASI usia 6-12 bulan

Hasil penelitian mengenai efektifitas penyelenggaraan kelas ibu balita terhadap pengetahuan dan perilaku ibu tentang MP-ASI usia 6-12 bulan menunjukkan bahwa perilaku dalam memberikan MP-ASI pada kelompok eksperimen (mengikuti kelas ibu balita) mendapatkan hasil (mean) yang lebih tinggi dari kelompok kontrol (tidak mengikuti kelas ibu balita), yaitu 3,35 >2,73. (Kostania, Rahayu; 2017)

Hasil tersebut sesuai dengan penelitian. Septiana (2010), yang menyatakan bahwa perilaku ibu dalam memberikan asupan gizi pada anaknya berhubungan secara bermakna dengan status gizi balita usia 6-24 bulan. Hal ini juga diperkuat oleh penelitian yang dilakukan Prakoso (2012), bahwa perilaku ibu dalam pemberian nutrisi sangat berkaitan dengan indeks masa tubuh atau status gizi dari anak. Kemudian juga senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Zhou H et.al (2012), bahwa terdapat hubungan antara perilaku ibu dalam pemberian makan dengan angka kejadian gizi kurang dan gizi buruk di tujuh kota di China, penelitian ini menyebutkan semakin baik perilaku ibu, maka semakin rendah angka kejadian gizi kurang dan buruk.

Menurut almatsier (2009) masalah gizi pada umunya disebabkan oleh kemiskinan, kurangnya ketersediaan pangan, sanitasi lingkungan yang buruk, kurangnya pengetahuan masyarakat tentang gizi, menu seimbang dan kesehatan. Studi-studi tentang status gizi menunjukkan adanya hubungan antara pola pemberian makanan pendamping ASI dan status gizi pada balita. Sesuai dengan pendapat Moehyi (2008) yang menyatakan bahwa pemberian makanan yang kurang tepat dapat menyebabkan terjadinya kekurangan gizi dan pemberian yang berlebihan akan terjadi kegemukan. Sedangkan menurut Suhardjo (2007), pola pemberian MP-ASI dipengaruhi oleh faktor ibu, karena ibulah yang sangat berperan dalam mengatur konsumsi anak, yang kemudian akan berpengaruh terhadap status gizi anak. Hal yang mempengaruhi pola pemberian MP-ASI diantaranya adalah pengetahuan ibu tentang gizi, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, tingkat pendapatan keluarga, adat istiadat dan penyakit infeksi.

Dengan dilaksanakannya kelas ibu balita, maka pengetahuan ibu tentang MP-ASI usia 6-12 bulan dapat meningkat, sehingga dapat mempengaruhi pola pikirnya untuk berperilaku kesehatan yang lebih baik. Dengan perilaku yang baik, maka ada kecenderungan untuk memenuhi kebutuhan gizi anak sesuai dengan angka kecukupan gizi dan jenis makanan yang direkomendasikan oleh WHO. Perilaku ibu yang baik dalam memenuhi MP-ASI usia 6-12 bulan, dapat membantu dalam meningkatkan tumbuh kembang yang optimal.

  1. Efektifitas penyelenggaraan kelas ibu balita terhadap pengetahuan dan perilaku ibu tentang MP-ASI usia 6-12 bulan

Penelitian tentang efektifitas penyelenggaraan kelas ibu balita terhadap pengetahuan ibu tentang MP-ASI usia 6-12 bulan, menunjukkan bahwa nilai P=0,001<0,05. Adapun tentang efektifitas penyelenggaraan kelas ibu balita terhadap perilaku ibu tentang MP-ASI usia 6-12 bulan, menunjukkan bahwa nilai P=0,001<0,05. Dengan demikian disimpulkan bahwa penyelenggaraan kelas ibu balita efektif terhadap peningkatan pengetahuan dan perilaku ibu tentang MP-ASI usia 6-12 bulan. (Kostania, Rahayu; 2017)

Kelas ibu balita adalah kelas dimana para ibu yang mempunyai anak berusia antara 0-5 tahun secara bersama-sama berdiskusi dan saling tukar pendapat serta pengalaman tentang pemenuhan pelayanan kesehatan, gizi, dan stimulasi pertumbuhan dan perkembangan anak, dengan dibimbing oleh fasilitator. Kelas terdiri atas maksimal 15 orang ibu balita. (Kemenkes, 2011)

Tujuan kelas ibu balita adalah untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku ibu dalam mewujudkan tumbuh kembang balita yang optimal. Salah satu tujuan khususnya adalah dapat meningkatkan keterampilan ibu dalam pemberian MP-ASI dan gizi seimbang kepada balita. (Kemenkes, 2011)

Proses pembelajaran yang diaplikasikan menggunakan metode partisipatif, yaitu proses belajar orang dewasa. Terdapat empat tahapan dalam siklus tersebut, yaitu: mengalami dan merasakan, mengungkapkan dan menceritakan pengalaman, mendiskusikan pengalaman, dan menyimpulkan hasil diskusi sebagai pengetahuan baru. Diskusi akan mengantarkan peserta untuk belajar pada pengetahuan baru berupa pemahaman mengenai apa yang harus diubah, dipertahankan, atau dikembangkan dalam mengasuh anak. Hasil pengetahuan baru ini akan menghasilkan perilaku baru yang lebih baik. (Kemenkes, 2011)

Salah satu materi yang disampaikan dalam kelas ibu balita adalah tentang Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) usia 6-12 bulan. Dengan pemberian materi ini, diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan pengalaman ibu dalam pemberian makanan pendamping ASI pada masa transisi setelah pemberian ASI eksklusif, sehingga perilaku ibu dalam mempertahankan status gizi balita dapat membaik. Status gizi yang baik dapat mendukung terwujudnya tumbuh kembang balita yang optimal.

Temuan dalam penelitian ini terkait efektivitas penyelenggaraan kelas ibu balita terhadap perubahan pengetahuan dan perilaku ibu, didukung oleh Wardle (2010), yang menyatakan bahwa Pengetahuan merupakan faktor penting dalam menentukan asupan nutrisi makanan. Hasil tersebut mendukung bahwa pemberian pengetahuan tentang gizi melalui pendidikan kesehatan yang bertujuan untuk mempromosikan makanan sehat dapat meningkatkan perilaku pemenuhan kebutuhan gizi. Spronk (2014) juga menyatakan hal yang sama bahwa Seseorang harus memiliki pengetahuan yang baik tentang pemenuhan nutrisi, karena hal ini dapat memandu seseorang dalam memenuhi asupan nutrisinya. Pengetahuan yang baik efektif dalam meningkatkan keterampilan klinis, dalam hal ini adalah perilaku dalam pemenuhan gizi.

Pengetahuan tentang nutrisi adalah faktor yang penting dalam perilaku pemberian nutrisi. Namun hal ini juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, seperti lingkungan, hubungan individu, dan motivasi. (Worsley, 2012). Hubungan antara faktor motivasi dan pemrosesan informasi penting bagi promotor kesehatan. Tujuan penyelenggaraan kelas ibu balita adalah untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku ibu dengan menggunakan buku KIA. Dalam pelaksanaannya, fasilitator dan peserta bersama-sama berdiskusi dan saling tukar pendapat serta pengalaman tentang materi yang dibahas. Hal ini memungkinkan fasilitator dapat menjalin hubungan yang baik dengan ibu balita. Dengan terjalinnya hubungan yang baik, maka dapat menjadi pemicu dalam meningkatkan motivasi ibu dalam memenuhi kebutuhaan gizi balita usia 6-12 bulan.

Berdasarkan kajian ini, dapat disimpulkan bahwa kelas ibu balita efektif terhadap perubahan pengetahuan ibu balita tentang MP-ASI usia 6-12 bulan, dan perilakunya dalam memberikan MP-ASI pada bayi usia 6-12 bulan. Peningkatan pengetahuan dapat mempengaruhi pola pikir ibu bayi/balita untuk berperilaku kesehatan yang lebih baik. Dengan perilaku yang baik, maka ada kecenderungan untuk memenuhi kebutuhan gizi anak sesuai dengan angka kecukupan gizi dan jenis makanan yang direkomendasikan oleh WHO. Perilaku ibu yang baik dalam memenuhi MP-ASI usia 6-12 bulan, dapat membantu dalam meningkatkan tumbuh kembang yang optimal.

____________________________________________ ***_____________________________________________

Artikel ini pernah dipresentasikan pada PIT-Bidan, yang diselenggarakan pada tanggal 3 s.d. 5 Mei 2018, di Hotel Novotel, Mangga Dua Square – Jakarta. Prosiding <–

Untuk Men-sitasi di Google Scholar: Klik <–

Baca juga: https://oshigita.id/materi-askeb-neonatus-bayi-balita-dan-anak-prasekolah/

Tulis komentar